Minggu, 20 November 2011

10 KAIDAH DAN FAIDAH YANG BERHARGA


Kaidah 1
PENTINGNYA SANAD
Ketahuilah-semoga Allah memberi taufik kepadamu- bahwa sanad (bunga rampai para perawi dalam meriwayatkan hadits) merupakan kenikmatan Allah Ta’ala kepada umat ini, sehingga terjagalah kesucian agama ini dari tangan-tangan lancang yang ingin mengotorinya. Oleh karena itu, tatkala ahli kitab tidak memiliki sanad dalam agama mereka, maka akibatnya banyak terjadi campuran antara kebenaran dan kebathilan dalam agama mereka.[1]
            Karena itulah, para ulama sangant memperhatikan masalah sanad ini secara serius, karena sanad merupakan pondasi utama untuk sampai kepada tujuan ilmu hadits, yaitu memilah antara hadits shahih dan lemah. Imam Ibnul Mubarak pernah berkata:
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ ، لَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
            “Sesungguhnya sanad itu termasuk agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya seseorang akan sembarangan berbicara.”[2]
            Seseorang pernah berkata kepada Imam az-Zuhri “Ceritakanlah kepadaku hadits tanpa sanadnya.”Maka beliau berkata,”Bisakah diriku ini menaiki atap tanpa tangga.”[3]
Kaidah 2
MENCERITAKAN HADITS LEMAH
            Banyak para khatib dan penulis membawakan hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Nabi tanpa menjelaskan kelemahannya, baik karena jahil (bodoh) terhadap hadits, atau memang malas membuka kitab-kitab hadits.
            Abu Syamah berkata[4] “Hal ini menurut ahli hadits dan ulama ahli ushul fiqih merupakan suatu kesalahan, bahkan hendaknya dijelaskan derajarnya apabila diketahui, kalau tidak menjelaskan maka dia masuk dalam hadits:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
            “Barang siapa menceritakan hadits dariku dan diketahui hadits tersebut dusta maka           dia salah satu pendusta.” (HR. Muslim).
Syaikh al-Albani berkomentar, “ inilah hukum orang yang diam dari hadits-hadits lemah dalam fadhaa-il! Lantas bagaimana dalam masalah hukum dan sejenisnya?![5]
            Imam an-Nawawi berkata, “Haram hukumnya meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu) bagi orang yang telah mengetahui atau menurut prasangka kuatnya bahwa derajat hadits tersebut adalah maudhu’. Maka barangsiapa meriwayatkan suatu hadits yang ia yakini atau berprasangka kuat bahwa derajatnya adalah maudhu’, namun ia tidak menjelaskan derajatnya, maka ia termasuk dalam ancaman hadits ini.”[6]
Kaidah 3
IBADAH DENGAN HADITS SHAHIH
            Hendaknya bagi kita beribadah di atas dalil yang shahih,dan tidak beramal suatu amalan sebelum kita mengetahui keshahihan dalil tersebut. Para ‘Ulama salaf kita telah memberi contoh akan pentingnya hal ini. Imam al-Harawi meriwayatkan bahwasanya ‘Abdullah bin Mubarak pernah tersesat dalam safar. Sebelumnya telah sampai kepada beliau,”Barangsiapa yang terjepit dalam kesusahan kemudian berseru, ‘Wahai hamba Allah, tolonglah aku,’ maka ia akan ditolong.’(Abdullah bin Mubarak) berkata, ‘Maka, aku mencari hadits ini untuk aku lihat sanadnya.’”
            Al-Harawi mengomentari dengan perkataannya, “’Abdullah bin Mubarak tidak memperbolehkan bagi dirinya untuk berdo’a dengan suatu do’a yang tidak dia ketahui sanadnya.”[7]
Kaidah 4
KEBENARAN MAKNA HADITS
            Ada beberapa hadits yang lemah tetapi maknanya benar, karena ada dalil shahih dari Al-Qur’an dan hadits yang menunjukan makna tersebut,atau terbukti dalam fakta lapangan. Namun harus diketahui bahwa  tidak semua hadits yang maknanya benar berarti Nabi pernah mengatakannya, sehingga tidak boleh bagi siapa pun untuk menisbatkannya kepada Nabi.
Sungguh ini adalah kejahilan yang amat parah, karena betapa banyak hadits-hadits yang dilemahkan oleh para ulama ahli hadits padahal maknanya shahih.
            Seaindainya penshahihan hadits dibuka karena melihat maknanya yang shahih tanpa melihat sanadnya, niscaya berapa banyak kebathilan akan masuk syari’at dan betapa banyak manusia yang akan menyandarkan kepada Nabi ucapan yang tidak beliau katakan dengan alasan tersebut, kemudian mereka mengambil tempat duduknya di Neraka.[8]
Kaidah 5
PERCOBAAN BUKAN HUJJAH
Suatu hadits tidak bisa dihukumi shahih berdasarkan percobaa, tetapi harus dibagun di atas sanad dan undang-undang hadits yang telah mapan.
            Alangkah bagusnya ucapan al-Hafizh asy-Syaukani, “Sunnah tidaklah ditetapkan dengan percobaan! Tekabulnya do’a tidaklah menunjukan bahwa faktor terkabulnya adalah shahih dari Rasulullah, karena bisa jadi Allah mengabulkan do’a seorang tanpa tawassul kepada-Nya, sebab Allah maha Penyayang terhadap hamba-Nya, dan bisa jadi terkabulnya do’a dikarenakan Allah memanjakan seorang sehingga dia terus larut dalam kelalaiannya.[9]
Kaidah 6
ILHAM DAN ILMU HADITS
            Al-Ajluni berkata menyebutkan dari Ibnu ‘Arabi ash-Shufi[10] bahwa suatu hadits yang lemah karena adanya perawi pendusta bisa jadi shahih karena ilham yang diberikan Rasul kepadanya.[11]
            Ucapan ini tidak perlu dibantah karena sudah sangat jelas sekali kebathilannya. Apalah faidah sanad kalau begitu?! Dan apa jerih payah para ulama ahli hadits dalam menjernihkan hadits Nabi kalau begitu?!
Kaidah 7
POPULER BELUM TENTU SHAHIH
            Suatu hadits yang masyhur (populer)dan laaris manis dikalangan masyarakat tidaklah menunjukan bahwa hadits tersebut shahih. Berapa banyak hadits yang populer di masyarakat, tetapi para ulama ahli hadits menghukuminya sebagai hadits lemah, palsu bahkan tidak ada asalnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Hadits masyhur bisa juga diartikan dengan suatu hadits yang banyak beredar di lidah masyarakat umum, maka hal ini mencangkup hadits yang memiliki satu sanad atau lebih, bahkan hadits yang tidak memiliki sanad.[12]

Kaidah 8
HADITS LEMAH DALAM FADHAA-IL A’MAAL
            Banyak orang beranggapan bahwa hadits lwmah bisa dijadikan sandaran dalam fadhaa-il a’maal dengan tidak ada perselisihan di kalangan ulama. Sungguh ini adalah anggapan yang keliru sebab para ulama telah berselisihtentangnya. Namun perlu diketahui bahwa mereka mensyaratkan tiga persyaratan, yaitu:
1)      Hadits tersebut kelemahannya ringan, tidak terlalu parah seperti lemah sekali, maudhu’, apalagi tidak ada asalnya.
2)      Orang yang mengamalkan mengetahui bahwa itu hadits yang lemah dan tidak berkeyakinan bahwa itu dari Nabi.
3)      Hadits lemah tersebut didasari oleh dalil shahih yang bersifat global[13]
            Sekalipun menurut kami yang lebih kuat tidak boleh beramal dengan hadits lemah.
Kaidah 9
TANDA-TANDA HADITS PALSU
            Ketahuilah bahwa hadits yang munkar dan palsu membuat hati penuntut ilmu menjadi geli dan mengingkarinya. Rabi’ bin Hutsami berkata, ”Sesungguhnya hadits itu memiliki cahaya seperti cahaya di siang hari sehingga engkau dapat melihatnya. Dan memiliki kegelapan seperti gelap malam sehingga engkau mengingkarinya.[14]
            Perlu diketahui bahwa hadits palsu memiliki ciri umum:
1)      Ucapan tersebut tidak menyerupai ucapan para Nabi.
2)      Ucapan tersebut lebih menyerupai ucapan doter dan ahli tariqat shufi.
3)      Bertentangan dengan kaidah-kaidah umum yang paten dalam islam.
4)      Lucu makna hadits yang terkandung di dalamnya.
5)      Tidak ada hadits tersebut di dalam kitab-kitab hadits yang penting seperti kitab-kitab Sunnan dan Musnad
Kaidah 10
KEMBALI KEPADA KEBENARAN
            Wahai saudaraku tinggalkanlah kesombongan dan jadikanlah dirimu pecinta kebenaran. Bila memang dirimu telah berpedoman pada hadits-hadits lemah dan palsu dan engkau pernah menjadi pembelanya, lalu Allah memberikan petunjuk kepadamu, maka jangan segan-segan dirimu untuk memeluk kebenaran dan menginggalkan keyakinanmu yang dulu sekalipun mungkin telah mengakar dalam hatimu.
Menakjubkanku kisah Ibnul Jauzi takala beliau mengamalkan sebagian hadits dzikir setelah shalat beliau berkata, “Dahulu saya mendengar hadits ini sejak kecil, sayapun mengamalkannya kurang lebih tiga puluh tahun lamanya karena saya bersangka baik pada perawinya. Namun tatkala saya mengetahui bahwa haditsnya adalah maudhu’ (palsu), maka sayapun meninggalkannya. Lalu ada seorang berkata kepadaku, ‘Bukankan itu mengamalkan suatu kebaikan?!’ Saya jawab, ‘Mengamalkan kebaikan itu harus di syari’atkan, kalau kita tahu bahwa itu adalah dusta maka berarti keluar dari perkara yang di syari’atkan.[15]


1. Menuntut Ilmu bagi muslimah
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
            “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat”
            Tambahan lafazh وَمُسْلِمَةٍ tidak ada asalnya dalam kitab hadits. Syaikh Al-bani mengatakan , “ Hadits ini masyhur pada zaman sekarang dengan tambahan  وَمُسْلِمَةٍ         padahal tidak ada asalnya sedikit pun. Hal ini di tegaskan oleh al-Hafizh  as-Sakhawi.  Beliau berkata dalam al-Maqashid al-Hasanah (hal.277): “ Sebagian penulis telah memasukan hadist ini dengan tambahan  وَمُسْلِمَةٍ  , padahal tidak di sebutkan dalam berbagai jalan hadits sedikitpun.
            Adapun hadist ini tanpa tambahan tersebut, derajatnya shahih atau hasan, karena telah diriwayatkan dari jalan yang banyak, dari sekelompok Sahabat.[16]
2. Menuntut Ilmu Sampai Mati
أُطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ
            “ Carilah ilmu dari sejak bayi sampai liang kubur.”
            TIDAK ADA ASALNYA. Demikian ditegaskan oleh Samahatusy Syaikh ‘Abdul Aziz bin Baaz[17].
            Tetapi maknanya benar, yaitu anjuran untuk menuntut ilmu syar’i sejak dini hingga meninggal dunia. Pernah dikatakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Sampai kapankan seseorang menuntut ilmu?” Beliau menjawab: ”Sampai meninggal dunia, lalu katanya, ‘ Kami hingga saat ini tetap menuntut ilmu.[18]
3. Meraih Kesuksesan Dunia Akhirat dengan Ilmu
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الْأَخِرَةَ فَعَلْيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
            Barang siapa yang menghendaki dunia, maka hendaknya ia berilmu. Dan Barang siapa    yang menghendaki akhirat, maka hendaknya ia berilmu. Dan Barang siapa yang    menghendaki keduanya, maka hendaknya ia berilmu.”
            TIDAK ADA ASALNYA. Sekalipun popular dan sering disampaikan para penceramah dalam upaya menggalangkan semangat menuntut ilmu. Wallaahul Musta’aan. Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab syarah Muhadzdzab (I/30) bahwa ucapan di atas adalah termasuk salah satu kata mutiara Imam Syafi’I tanpa penggalan kata terakhir.
4. Belajar di Saat Kecil
مَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ فِي صِغَرِهِ كَالنَّقْشِ فِي الْحَجَرِ ، وَمَثَلُ الَّذِي يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ فِي كِبَرِهِ كَالَّذِيْ يَكْتُبُ عَلَى الْمَاءِ
            “ Perumpamaan seorang yang menuntut ilmu sejak kecilnya seperti mengukur di      batu, dan Perumpamaan seorang yang menuntut ilmu saat usia tua seperti menulis         di atas air.”
            MAUDHU. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam mu’jam al-Kabir dari Sahabat Abu Darda’.
            Hadits ini maudhu’, sebab dalam sanadnya terdapat Marwan bin Salim asy-Syami,  dan ia adalah seorang yang lemah sekali sebagaimana dikatakan Imam al-Bukhari, Abu Hatim, Ibnu Hibban dan lainya.[19]
5. Kebersihan Sebagian dari Iman
النَّظَافَةُ مِنَ الْإِيْمَانِ
            TIDAK ADA ASALNYA. Ucapan ini bukan hadits Nabi, ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.[20]
            Hadits ini sangat laris manis di lisan dan dihafal oleh anak-anak dan juga orang dewasa, padahal ini tidak sah dari Nabi. Cukuplah sebagai gantinya, sabda Nabi:
إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَلَ
            “Sesungguhnya Allah itu jamil (indah) dan menyukai keindahan.” (HR. Muslim, no. 91).
6. Adzan Tatkala Bayinya Lahir
مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى، وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
            “ Barangsiapa yang dikaruniai seorang bayi, lalu dia adzani di telinga bagian kanan dan iqamat di telinga bagian kirinya, maka dia tidak akan ditimpa gangguan jin.”
            MAUDHU’. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (VI/390), Abu Ya’la (no. 6780), Ibnu Sunni dalam Amalul Yaumi waLailah (no.623 ) dari jalan Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim dari Thalhah bin ‘Ubaidillah dari Husain bin ‘Ali.
            Sanad hadits ini maudhu’, disebabkan Yahya bin al-‘Ala dan Marwan bin Salim adalah dua rawi yang memalsukan hadits.[21]
            Faidah: Hadits ini memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya tetap tidak bisa terangkat derajatnya. Maka pernyataan sebagian ‘ulama bahwa hadits ini hasan adalah sebuah kekeliruan, termasuk Syaikh Al-bani dalam beberapa kitabnya, tetapi pada akhirnya beliau meralat pendapatnya. Oleh karena haditsnya lemah, maka tidak bisa diamalkan.
7. Menarik dari Shaff

إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِلَى الصَّفِّ وَ قَدْ تَمَّ فَلْيَجْبِذْ إِلَيْهِ رَجُلًا يُقِيْمُهُ إِلَى جَنْبِهِ
            “ Apabila seorang di antara kalian mendapati shaff sudah penuh sempurna, maka    hendaknya dia menarik seorang untuk berdiri disampingnya.”
            MAUDHU’. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Ausath (I/33) dari Hafsh bin Umar ar-Rabbali dari Bisyr bin Ibrahim dari Hajjaj bin Hassan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas secara marfu’.
            Sanad hadits ini maudhu’, disebabkan Bisyr bin Ibrahim adalah rawi yang memalsukan hadits, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adi dan Ibnu Hibban. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “ Sanadnya lemah sekali.”[22]
            Faedah: Setelah jelas kelemahan hadits tersebut, maka tidak boleh dijadikan dalil syar’i untuk menarik seseorang dari shafnya. Apabila dilakukan berarti sebuah syari’at tanpa dalil yang shahih. Sewajibnya bagi seseorang masuk keshaff apabila memungkinkan, namun jika tidak maka tidak mengapa dia shalat sendiriandan shalatnya tetap sah.[23]
            Apabila kalau penarikan itu dilakukan maka akan menimbulkan beberapa dampak negatif, diantaranya:
Ø  Memundurkan seorang dari tempat yang afdhal.
Ø  Menimbulkan kelonggaran dalam shaf, padahal di perintah untuk menutupnya.
Ø  Banyak gerak dalam shalat tanpa faedah.
Ø  Mengganggu konsentrasi orang yang di sampingnya.
Ø  Beribadah tanpa dalil ( dasar) yang shahih.
8. Do’a Sujud Sahwi
سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَلَا يَسْهُوْ
            “ Mahasuci Dzat Yang tidak tidur dan tidak lupa.”
            TIDAK ADA ASALNYA. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: ” saya belum menemukan asalnya.”[24]
            Syaikh Muhammad asy-Syuqairi berkata: “ Tidak dinukil dari Nabi dzikir secara khususdalam sujud sahwi bahkan dzikir-dzikirnya sama seperti sujud-sujud dalam shalat. Adapun hadist di atas tidak pernah dikerjakan Nabi maupun para Sahabatnya serta tidak ada dalil satupun yang kuat bahwa bacaan di atas Sunnah Nabi. Itu hanya impian yang dilihat oleh sebagian tokoh-tokoh shufi. Janganlah kalian mengambil agama darinya, tetapi hendaknya kalian mengambil agama dari kitab-kitab yang shahih.
            Adapun bila dari selain kitab-kitab yang shahih, maka kembalikan kepada orang yang mengatakannya. Sesungguhnya membuat dzikir seperti ini dalam buku-buku lalu dijadikan agama/syari’at merupakan kesesatan dan kerusakan yang besar.[25]
9. Do’a Shalat Dhuha
اللَّهُمَّ إِنَّ الضُّحَى ضُحَاؤُكَ وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُكَ وَالْجَمَالَ جَمَالُكَ وَالْقُوَّةَ قُوَّتُكَ وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُكَ وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُكَ...إلخ
            TIDAK ADA ASALNYA. Al-Ustadz Abu Ubaidah berkata: saya belum mendapatkannya dalam kitab-kitab hadits[26] terpercaya. Kemudian beliau tanyakan kepada Syaikh Salim al-Hilali pada 25 Rabiut Tsani 1424 H, jawab beliau: “ Tidak ada dalam kitab-kitab hadits.” Wallaahu a’lam.
10. Keutamaan Bulan Ramadhan
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ  رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلَّهَا... إلخ
            “ Seandainya sekalian mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka       berangan-angan agar setiap tahun dijadikan bulan Ramadhan seluruhnya...(hadits        panjang).
            MAUDHU’ (PALSU). Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886), Ibnul Jauzi dalam al-Maudhuu’aat (II/88-89) dari jalan Jarir bin Ayub al-Bajali dari sya’bi dari Nafi bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari.
            Jarir bin Ayub adalah seorang rawi pendusta yang sangat masyhur, bahkan Abu Nu’aim berkata tentangnya, “ Pemalsu hadits.”
11. Awal Ramadhan Adalah Rahmat

...وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُهُ رَحْمَةٌ ، وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ... إلخ
            “... Bulan yang awalnya berupa rahmat, pertengahannya berupa ampunan,   dan      akhirnya pembebasan dari neraka...(hadits panjang).”
            DHA’IF (LEMAH). Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu khuzaimah (no. 1887), al-Mahamili dalam al-Amali (no. 50) dari jalan Ali bin Zaid bin Jud’an dari Sa’id bin Musayyab dari Salman al-Farisi.
            Hadits ini lemah, sebab, ‘Ali bin Zaid seorang rawi yang lemah. Imam Ahmad berkata tentangnya, “ Dia tidak kuat.”
13. Sehat dengan Puasa
صُوْمُوْا وَتَصِحُوْا
            “ Berpuasalah, niscaya kalian sehat.”
            LEMAH SEKALI. Diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam al-Kamil (VII/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id dari ad-Dhahak dari Ibnu Abbas. Nahsyal adalah seorang rawi yang matruk dan suka berdusta. Ishaq bin Rahawaih berkata mengenainya, “Kadzdzab (pendusta).[27]
            Makna hadits ini shahih , sebab telah terbukti bahwa puasa merupakan faktor kesehatan dan dapat mengusir beberapa penyakit yang berbahaya.
14. Do’a Menyentuh Hajar Aswad 
كَانَ إِذَا اسْتَلَمَ الْحَجَرَ : اللَّهُمَّ إِيمَانًا بِكَ وَتَصْدِيقًا بِكِتَابِكَ وَاتِّبَاعًا لِسُنَّةِ نَبِيِّكَ
            “ Adalah beliau apabila menyentuh Hajar Aswad, beliau berdo’a: ‘ Ya Allah, kami    beriman kepada-Mu, membenarkan kitab-Mu, dan mengikuti Sunnah Nabi-Mu.’”
            MAUQUF LEMAH. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Ausath (no. 488) dari Abu Ishaq dari Harits dari ‘Ali.
            Hadits ini lemah, sebab Harits al-A’war seorang yang lemah haditsnya.
            Dan diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani (no. 5617, 5971) dari jalur ‘Aun bin Sallam dari Muhammad bin Muhajir dari Nafi dari Ibnu ‘Umar.
            Hadits ini lemah juga, sebab Muhammad bin Muhajir al-Kufi adalah lemah.[28]

15. Tidak Makan Hingga Lapar
نَحْنُ قَوْمٌ لَا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوْعَ, وَ إِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَعُ
            “ Kita adalah suatu kaum yang tidak makan hingga merasa lapar, dan apabila kita   makan maka kita tidak kenyang.”
            TIDAK ADA ASALNYA. Ustadzuna Abu Unaisah Abdul Hakimbin Amir Abdat berkata: “ Hadits yang sangan masyhur ini, yang beredar demikian cepatnya dari mulut kemulut, dari satu mimbar kemimbar yang lainnya yang disandarkan atas Nabi yang mulia, sama sekali tidak ada asal usulnya. Bertahun tahun saya mencari sanad hadits ini di kitab-kitab hadits dan yang selainnya, tetapi saya tidak menemukannya sampai pada hari saya menulisnya dan memasukannya di dalam kitab saya.[29]
            Ternyata ungkapan di atas bukanlah sebuah hadits melainkan ucapan seorang dokter ahli dari sudan sebagaimana dalam sebuah kisah panjang yang dinukil oleh al-Hafizh as-Suyuthi dalam kitabnya ar-Rahmah fi Thibbi wal hikmah (hal. 19) dan Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Madarij Shu’ud (hal.19).
16. Do’a Sebelum Makan
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ بِسْمِ اللهِ
            “ Ya Allah berkahilah apa-apa yang Engkau rizkikan kepada kami dan jagalah kami           dari adzab Neraka.”
            LEMAH SEKALI. Di keluarkan oleh Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 459), Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil (VI/2212), ath-Thabrani dalam ad-Du’aa (no. 888) dari Hisyam bin ‘Ammar menceritakan kami Muhammad bin ‘Isa bin Sami’ menceritakan kami Muhammad bin Abu Zu’aizi’ah dari ‘Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakenya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash...
            Muhammad bin Abu Zu’aizi’ah disebutkan oleh Imam adz-Dzahabi dalam Mizaanul I’tiqad (VI/149-150), “ Abu Hatim berkata, “ Munkarul hadits jiddan (hadits mungkar sekali).”Demikian juga dikatakan Imam al-Bukhari.” Kemudian beliau (adz-Dzahabi) menyebutkan beberapa hadits munkar lalu berkata, “Hadits-hadits ini diriwayatkan oleh Hisyam    bin ‘Ammar dari Ibnu Sami’ dari Ibnu Zu’aizi’ah.” Dan beliau juga menyebutkan hadits pembahasan kita di atas.[30]
            Adapun do’a makan yang shahih dari Nabi adalah membaca ( bismillah). Berdasarkan hadits ‘Umar bin Abu Salamah:
يَا غُلَامُ سَمِّ اللهَ...
            “Wahai anak, bacalah bismillah…”[31]
17. Do’a Setelah Makan
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَجَعَلَنَا مُسْلِمِينَ
            Segala puji bagi Allah yang telah memberi makan dan minum kami dan        menjadikan    kami termasuk orang muslim.”
            DHAIF (LEMAH). Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3850), at-Tirmidzi (no. 3457), Ibnu Majah (no. 3283), dan selainya.
            Hadits ini lemah sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Albani.[32]Sebab kecacatan hadits ini adalah idthirab sanad (sanadnya goncang). Kadang dari Ismail bin Riyah dari bapaknya atau selainnya, terkadang juga dari Ismail bin Abu Idris  dari Abu Sa’id al-Khudri secara mauquf (sampai kepada sahabat Abu Sa’id al-Khudri saja). Kadang lagi dari Riyah dari Budak Abu Sa’id dan terkadang juga dari anak saudara (sepupu) Abu Sa’id.
            Adapun do’a yang shahih adalah:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا رَفَعَ مَائِدَتَهُ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ ، وَلاَ مُوَدَّعٍ ، وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبَّنَا.
            “Dari Abu Umamah bahwasanya Nabi apabila selesai makan, beliau berdo’a: “Segala         puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan penuh berkah di dalamnya,           bukan pujian yang tidak mencukupi dan tersia-sia dan tidak dibutuhkan, wahai Rabb kami.”[33]
18. Cinta Dunia
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
            “Cinta dunia sumber segala dosa.”
            MAUDHU. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi , lalu beliau berkata: “ Tidak ada asalnya dari hadits Nabi.” As-Suyuti berkata: “Para ulama menilai hadits ini maudhu.”
            Ibnu Taimiyah berkata,[34]:” Ucapan ini populer dari Jundub bin ‘Abdillah al-Bajali, adapun dari Nabi tidak ada sanad yang jelas .”Ditempat lain,[35]beliau juga menambahkan, “Ucapan inidiceritakan dari Isa bin Maryam. Orang yang paling berlebihan dengan lafazh iniadalah para ahli filsafatdan yang sejalan dengan mereka darikalangan Shufi...[36]
            Cukuplah bagi kita ayat-ayat dan hadits yang banyak sekalitentang hinanya dunia dan hendaknya kita waspada terhadap fitnahnya yang banyak melupakan manusia  dari akhiratnya!!
19. Jihad Besar
رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ
            “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar.”
MUNKAR. Hadits ini sangat populer sekali dan sering disampaikan oleh para da’i, padahal tidak shahih.
            Al-Hafizh al-Iraqi berkata: “Sanadnya lemah.”[37]Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: Hadits ini diriwayatkan dari jalan ‘Isa bin Ibrahim dari Yahya dari Laits bin Abu Sulaim, padahal seluruhnya adalah orang- orang yang lemah.”[38]
            Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Hadits ini sangat masyhur dan banyak beredar, padahal itu hanya perkata Ibrahim bin Abu Ablah (Seorang Tabi’in dari Syam) yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam al-Kunna.”[39]
            Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[40] berkata: “Hadits ini tidak ada asalnya, tidak ada seorang ahli hadits pun yang meriwayatkannya, jihad melawan orang kafir merupakan amalan ketaatan yang paling utama.”[41]
            Matan hadits ini juga perlu ditinjau ulang, bagaimana jihad melawan orang kafir yang merupakan amalan yang sangat utama dalam islam disebut sebagai jihad kecil, padahan betapa banyak ayat dan hadits yang menganjurkannya?!!
20.Amal Dunia dan Akhirat
اعْمَلْ لِدُنْيَاكَ كَأَنَّكَ تَعِيْشُ أَبَدًا وَاعْمَلْ لِآَخِرَتِكَ كَأَنَّكَ تَمُوْتُ غَدًا
            Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok.”
            TIDAK ADA ASALNYA secara marfu’, sekalipun masyhur di zaman sekarang ini. Benar, diriwayatkan oleh Baihaqi di dalam Sunannya (III/19) dari jalan Abu Shalih, menceritakan kepada Laitsdari Ibnu Ajlan dari budak ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dari Rasulullah bahwa beliau bersabda:
  فَاعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ أَنْ لَنْ يَمُوتَ أَبَدًا ، وَاحْذَرْ حَذَرًا تَخْشَى أَنْ تَمُوتَ غَدًا
            “Bekerjalah sebagaimana seseorang yang menyangka tidak akan mati selamanya.   Dan behati-hatilah sebagaimana orang yang akan mati besok.”
Tetapa sanad hadits ini lemah dengan dua cacat; tidak dikenalnya budak ‘Umar bin Abdul ‘Aziz dan lemahnya Abu Shalih yaitu ‘Abullah bin Shalih, sekertarisnya Laits.[42]
            Matan potongan awal hadits ini pun tidak benar, karena menganjurkan kepada manusia untuk mengejar dunia seakan-akan hidup selamanya, yang benar kita mencari dunia sekedar kebutuhan saja.[43] Alangkah bagusnya perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Hendaknya harta bagi seorang hamba seakan tempat buang hajat yang tidak ada ketergantungan dalam hati.[44]




[1] Lihat Majmu’ Fataawaa (1/2) Ibnu Taimiyyah.
[2] Muqaddimah Shahih Muslim (1/12).
[3] Tadribu Rawi (III/794) as-Suyuti.
[4] Al-Baits ‘ala Inkaril Bida’wal Hawadits (hal. 54).
[5] Tamamul Minnah (hal.33).
[6] Syarh Muslim (I/30).
[7] Dzammul Kamal (IV/68).
[8] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. II/36-37).
[9] Tuhfatudz Dzaakiriin (hal. 140)
[10] Pengibar bendera wahdatul wujud (wafat th. 638). Dia mempunyai beberapa pemikiran kufur. Oleh karena itu para ulama menganggapnya sesat.
[11] Kasyful Khafa’ (I/9).
[12] Nuzhah Nazhor fi Taudhih Nukhbah Fikar (hal. 63-64).
[13] Lihat Tabyin ‘Ajab (hal. 3-4) Ibnu Hajar.
[14] Al-Kifayah fi ilmi Riwayah (hal. 605) al-Khatib al-Baghdadi.
[15] Al-Maudhuu’aat (I/245).
[16] Takhrij Musykilatul Faqr (hal. 48-62 ).
[17] Al-Ahaadiist Mardudah (hal. 12) Sa’id bin shalih al-Ghamidi
[18] Adab Syar’iyyah (II/134) Ibnu Muflih
[19] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 617)
[20] Fataawaa al-Lajnah ad-Daa-imah (IV/466)
[21] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 321).
[22] At-Talkhis al-Habir (II/37).
[23] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 921, 922).

[24] Ashlu sifat shalat Nabi (III/1040) al-Albani
[25] As-Sunan wal Mubtada’at (hal. 64)
[26] Sekalipun kami tahu bahwa do’a ini dicantumkan dalam kitab-kitab fiqih seperti I’anah Thalibin (I/401-402) Abu Bakar Syatha, dan lain sebagainya.
[27] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 253).

[28] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 1049)
[29] Hadits Dha’if dan Maudhu’ (no. 228).
[30] Lihat pula Lisanul Mizan (VI/113-114) oleh Ibnu Hajar
[31] HR. Bukhari (no. 5376) dan Muslim (no. 2022)
[32] Takhrij Kalimith Thayyib (no. 188), al-Misykah (no. 4204), dan Mukhtashar syamaa-il Muhammadiyah (no. 163).
[33] HR. Al-Bukhari (no. 5458).
[34] Majmuu’ Fataawaa (II/196)
[35] Majmuu’ Fataawaa (XI/907)
[36] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 1226)

[37] Takhrij al-Ihya’ (II/6).
[38] Takhrij al-Kasyaf (IV/1140/33).
[39] Ad-Durar (hal.170) as-Suyuthi.
[40] Majmuu’ Fataawaa (XI/197).
[41] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 2460).
[42] Silsilah al-Ahaadiits adh-Dha’iffah (no. 8).
[43] Lihat dalam majalah al-Furqon edisi 1/th. V hal. 12-13
[44]Al-Washiyyatuh ash-Shughra (hal. 307).