Jumat, 29 Juli 2011

ngeles


NGELES
Mencari Pembenaran untuk Menghindari Kebenaran

Allah subhanahu wa ta'ala mengisahkan dalam Kitab-Nya tentang segolongan orang yang menolak kebenaran Sang Khalik. Kisah ini di abadikan oleh Allah dalam surah Asy-Syu'ara' ayat 69-74. Mereka adalah kaum Musyrikin yang dihadapi oleh Nabi Ibrahim 'alaihi salam. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ إِبْرَاهِيمَ
Ceritakanlah(wahai Muhammad) kabar mengenai Ibrahim!
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا تَعْبُدُونَ
Ketika ia bertanya kepada Ayahnya dan kaumnya, Apa yang kalian sembah?
قَالُوا نَعْبُدُ أَصْنَامًا فَنَظَلُّ لَهَا عَاكِفِينَ
Mereka menjawab: Kami menyembah berhala, dan kami senantiasa untuk menyembahnya.
قَالَ هَلْ يَسْمَعُونَكُمْ إِذْ تَدْعُونَ
Ibrahim bertanya: Jika kalian berdoa kepada mereka, apakah mereka akan mendengarnya?
أَوْ يَنْفَعُونَكُمْ أَوْ يَضُرُّونَ
Atau, apakah mereka dapat memberi manfaat dan mendatangkan madharat?
قَالُوا بَلْ وَجَدْنَا آبَاءَنَا كَذَلِكَ يَفْعَلُونَ
Mereka menjawab, namun inilah yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami.

Perhatikanlah dialog di atas. Nabi Ibrahim 'alaihi salam ingin menggiring kaumnya kepada pemahaman yang benar bahwa berhala-berhala itu tidak pantas untuk disembah. Berhala-berhala itu tidak memiliki kuasa apa-apa. Ketika ia dipinta ia tidak dapat memberi. Ketika disembah ia tidak berubah menjadi tuhan. Jika tidak disembahpun ia tidak dapat memberi kerugian apapun. Azab dan bala juga tidak akan datang bila orang-orang tidak menyembahnya. Nabi Ibrahim 'alaihi salam ingin agar mereka berfikir dan menyadari sendiri kekeliruan yang mereka lakukan.  
            Untuk itulah mengapa Nabi Ibrahim mengajukan pertanyaan tersebut. Dengan pertanyaan itu kaumnya telah disudutkan pada dua pilihan jawaban,  Ya atau tidak. Jika mereka menjawab ya, maka mereka telah mengingkari kenyataan. Karena faktanya berhala-berhala itu tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, jika mereka menjawab tidak, maka dengan sendirinya mereka harus menerima kebenaran dari Allah subhanahu wa ta'ala yang dibawa oleh Nabi Ibrahim 'alaihi salam. Sadar akan konsekwensi yang harus di tanggungnya. Merekapun akhirnya ngeles untuk keluar dari  jebakan yang telah di siapkan. Mereka menolak untuk menjawab ya atau tidak. Akhirnya mereka mencari pembenaran lain dengan mengatakan "inilah yang dilakukan nenek  moyang kami".
            Inilah cara yang dilakukan orang-orang yang enggan menerima kebenaran. Inilah metode yang dilakukan orang kafir untuk memperjuangkan perbuatannya. Di -kalangan para ulama, metode ini dikenal dengan istilah "haidah". Namun tahukah anda, bahwa sebagian umat islam ada yang mengikuti metode ini. Ngeles atau berhaidah mereka lakukan untuk menolak kebenaran yang datang dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam. Namun yang menjadi kesyukuran, mereka tidaklah menolak semua kebenaran tersebut, hanya sebagian yang tidak sesuai dengan seleranya saja yang ditolak.
            Suatu ketika seorang thalibul ilmi diminta oleh keluarganya untuk menghadiri acara haulan kakeknya yang kesekian kalinya. Thalibul ilmi ini tahu bahwa ritual haulan ini bukanlah ajaran Islam. Lantas ia menanyakan kepada keluarganya, Apakah haulan ini dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam? Atau apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam dulu menghauli ayah dan ibunya? Atau jika mereka berdua wafat dalam keadaan kafir kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam tidak menghauli mereka berdua. Sekarang bagaimana dengan istri beliau, Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu 'anha?, beliau adalah wanita yang paling dicintainya. Apakah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam menghauli wafatnya? Atau apakah keturunan-keturunan beliau sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam mengadakan haulan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam? Atau jika tidak demikian, adakah umat muslim saat ini yang mengadakan haulan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam?
            Sadar akan konsekwensi jawaban dari pertanyaan ini, keluarga si thalib tadi mengatakan, "tapi tradisi itukan baik, daripada diisi dengan kegiatan yang gk karu-karuan, kan mendingan zikir". Thalibul ilmi tersebut balik mengatakan, "saya tidak bertanya apakah haulan itu baik atau tidak. Yang saya tanyakan, diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam tidak? Keluarga si thalib tadi menyadari bahwa jika ia menjawab "ya", maka dia telah menyelisihi fakta, karena dia tahu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam memang tidak pernah mengajarkannya. Namun jika dia menjawab "tidak" dengan sendirinya ia harus meninggalkan tradisi haulan tersebut. Karena dia tahu segala ibadah yang tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam tidak akan diterima. Berdasarkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa salam:

 مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa melakukan amal ibadah tanpa ada dasar ajaran dari kami maka amal tersebut akan tertolak.(HR. Muslim dari hadits 'Aisyah).
Oleh karena itu para ulama Ushul Fiqh menetapkan sebuah kaidah bahwa hukum asal segala ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menjadi dasarnya. Artinya selama tidak ada dalil yang menjadi petunjuk atas ibadah tersebut maka hukum melakukan ibadah tersebut adalah haram. Senada dengan pernyataan para ulama Ushul Fiqh di atas, Imam Abul Fida Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Segala amal yang tidak didasari dengan ikhlas dan tanpa contoh dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam adalah batil"(Tafsir Ibnu Katsir, tafsir Surah Al-Furqan ayat: 23)
            Jika kita lihat kembali kisah kaum Nabi Ibrahim 'alaihi salam, kemudian kita bandingkan dengan kasus keluarga si thalib tadi. Dapat kita lihat kemiripan di dalamnya, yaitu mereka ngeles untuk membenarkan perbuatan mereka. Padahal mereka tahu bahwa perbuatan tersebut tidak ada ajarannya dalam Kitab maupun sunnah. Dalam hal ini mereka telah menempuh jalan orang kafir untuk menolak kebenaran. Namun yang harus digarisbawahi mereka tidak kafir dengan menempuh jalan itu. Mereka tidak serta merta menolak seluruh ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa salam. Mereka hanya menolak ajaran yang tidak sesuai dengan selera mereka. Semoga kita terhindar dari sifat-sifat demikian yang selalu mencari pembenaran bukan kebenaran. Sebagai seorang mukmin yang bertaqwa, seharusnya kita menyingkirkan ego kita untuk menolak kebenaran. Ingatlah firman Allah:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ  
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (Al-Hasyr: 7).