Senin, 15 Agustus 2011

Pilar-Pilar Dakwah


Pilar-pilar Dakwah
Oleh: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
Berdakwah pada jalanAllah adalah prioritas pada rasul dan seluruh pengikutnya. Tujuannya adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kekufuran menuju keimanan, dari kesyirikan menuju tauhid, dan dari neraka menuju surga. Dakwah harusah dibangun di atas tiang –tiang penyangga yang kuat dan landasan yang kokoh. Manakala salah satunya rusak, maka dakwah tersebut tidaklah menjadi dakwah yang benar dan tidaklah menghaslkan buah yang diharapkan, walaupun dilakukan dengan penuh kesugguhan dan menghabiskan banyak waktu. Sebagaimana yang terjadi pada saat sekarang ini, banyak sekali dakwah yang tidak bersandar pada penyangga yang kuat dan dasar yang kokoh tersebut.
Secara ringkas, penyangga-penyangga yang menjadi sandaran berdirinya dakwah yang benar sebagaimana tersebut dalam dalil-dalil Al-Qur’an dan Sunnah adalah sebagai berikut:
1. Berilmu tentang apa yang didakwahkan
    Orang bodoh tidak layak menjadi da’i. Allah subhanahu wa ta’al berfirman kepada Nabi-Nya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: inilah jalan (agamaku), aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah atas ilmu (hujjah yang nyata) dan Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik. (Yusuf: 108)
Al-Bashiroh artinya ilmu. Jadi maksudnya Allah memerintahkan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam untuk berdakwah atas dasar ilmu. Kalau beliau saja yang sudah jelas berilmu masih diperitahkan seperti itu, apalagi kita yang hanya manusia biasa dan bukan siapa-siapa. Allahul musta’an.
Juga seorang da’i akan berhadapan dengan orang-orang yang dianggap ulama namun mereka menyesatkan dengan fatwa-fatwa mereka. para da’i akan dihadapkan dengan syibhat-syubhat yang mereka lontarkan dengan tujuan mendebat kebenaran menggunakan kebatilan. Apabila seorang da’i tidak memiliki ilmu yang dengannya ia akan menghadapi setiap syubhat dan membantah setiap penentang, maka ia akan lari tunggang langgang dan akan berhenti di awal perjalanan.
2. Mengamalkan apa yang ia dakwahkan
    Dengan ini, seorang da’i bisa menjadi suri tauladan yang baik. Perbuatannya membenarkan perkataannya, sehingga tidak ada alasan bagi pendukung kebatilan untuk menolak kebenaran. Alah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru ke jalan Allah dan mengerjakan amal yang sholeh? Dan dia berkata sesungguhnya aku termasuk orang-orang Muslim. (fushilat:33)
Pada ayat di atas disebutkan “mengerjakan amal sholeh” mengiringi “dakwah ke jalan Allah”. Maksudnya, ketika seseorang mendakwahkan suatu kebaikan, maka haruslah diiringi dengan mengerjakan kebaikan yang ia dakwahkan.
3. Ikhlas
    Dakwah dilakukan hanya untuk Allah. Tidak dimaksudkan untuk berbuat riya’, sum’ah, mengangkat derajat, mendapatkan kepemimpinan ataupun hal-hal duniawi. Apabila dakwah sudah dimasuki salah satu perbuatan yang di atas, maka dakwah itu bukanlah karena Allah. Namun itu adalah dakwah untuk dirinya sendiri atau untuk mencapai tujuannya. Sebagaimana Allah sebutkan tentang perkataang para Nabi kepada umatnya:
قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا
Katakanlah: aku tidak meminta upah dari kalian atasnya (menyampaikan dakwah). (Al-An’am: 90)
4. Memulai dari yang paling penting, kemudian hal yang penting sesudahnya.
    Hendaknya seorang da’i mengajak untuk memperbaiki aqidah,  mengajak untuk mengikhlaskan ibadah kepada Allah dan melarang melakukan perbuatan syirik. Selanjutnya ia mengajak untuk mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan. Hal ini merupakan cara dakwah semua Rasul, seperti yang disebutkan dalan firman Allah :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya “bahwasannya tidak ada sesembahan melainkan Aku, maka sembahlah Aku oleh kamu sekalian. (Al-Anbiya: 25)
Begitu juga seperti yang disebutkan dalam hadis ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal untuk berdakwah ke daerah Yaman yang sebagian redaksi sebagai berikut:
فَقَالَ إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوكَ لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kamu dakwahkan kepada mereka adalah syahadat La Ilaha Illallah (persaksian bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah, maka apabila mereka menaatimu dalam hal itu, ajarkanlah mereka bahwasannya Allah telah mewajibkan atas mereka lima waktu shalat pada tiap siang dan malam. (HR. Abu Dawud)
Kedua dalil ini menjadi bukti bahwasannya hal yang terpenting yang harus kita dakwahkan terlebih dahulu adalah mengajak ummat untuk memurnikan tauhid kepada Allah azza wa jalla.

5. Sabar dalam menghadapi kesulitan ketika berdakwah di jalan Allah
    Seorang da’I dituntut harus bersabar dalam menghadapi gangguan manusia. Karena jalan dakwah itu bukanlah sesuatu yang terbentang dengan seketika. Bahkan dakwah dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai dan berbagai bahaya. Sebaik-baik suri tauladan adalah para rasul yang telah mendapat gangguan dan hinaan dari kaum mereka. Allah azza wa jalla berfirman:
                                      وَلَقَدِ اسْتُهْزِئَ بِرُسُلٍ مِنْ قَبْلِكَ فَحَاقَ بِالَّذِينَ سَخِرُوا مِنْهُمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kam, maka turunlah kepada orang-orang yang mencemoohkan di antara mereka balasan dengan apa yang mereka olok-olokkan itu. (Al-An’am: 10)
.....وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
Dan sesungguhnya telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, tapi mereka bersabar terhadap pendustaan dan mereka pun dianiaya sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.....(Al-An’am: 34)

6. Berhias dengan akhlak mulia
    Seorang da’i hendaknya memiliki akhlak dan tindak tanduk yang mulia serta menggunakan hikmah dalam dakwahnya. Karena hal ini lebih membuka kesempatan agar dakwahnya diterima. Sebagaimana Allah memerintahkan kepada kedua Nabi-Nya yang mulia, Musa dan Harun alaihima salam agar menggunakan hikmah dalam mendakwahi manusia yang paling kafir di dunia yaitu Fir’aun yang mengaku dirinya adalah tuhan. Allah befirman:
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Maka samapikanlah kepadanya dengan perkataan yang lembut semoga ia ingat atau takut. ( Thaha: 44)
Allah juga berfirman kepada Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
.......فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. (Ali Imran: 159)
7. Kuat harapannya
    Seorang da’i hendaknya memiliki harapan yang kuat, tidak cepat putus asa untuk menanamkan dakwahnya dan menyampaikan hidayah kepada kaumnya. Tidak pula ia putus asa dari pertlongan dan bantuan Allah, walaupun dakwahnya ditempuh dalam waktu yang lama. Dan sebaik-baik suri tauladan dalam hal ini adalah para rasul Allah. Nabi Nuh alaihi salam tinggal bersama kaumnya dan berdakwah selama sembilan ratus lima puluh tahun. Begitu juga Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi wa sallam tatkala gangguan orang kafir semakin keras dan ketika oarang-orang kafir meminta agar Allah menjadikan bukit shafa menjadi emas, lantas mereka berkata “bila itu menjadi emas maka kami akan mengikutimu. Kemudian Allah mengutus Jibril kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berkata Jibril: “kalau engkau mau maka bukit shafa akan berubah menjadi emas. Dan barang siapa yang kafir setelah itu, maka aku akan menimpakan adzab yang belum pernah ditimpakan kepada kaum  sebelum mereka. dan kalau engkau mau maka akan Kami bukakan kepada mereka pintu taubat”. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun mengatakan: wahai Tuhanku, tidak, tapi bukakanlah mereka pintu taubat. (HR. Ahmad)
Hadis di atas menunjukkan sikap beliau yang sabar lagi tidak putus asa dalam menghadapi gangguan dalam dakwah. Ketika sifat-sifat ini hilang dari diri seorang da’i, sungguh ia akan berhenti pada awal perjalanan dakwah dan merugi amalnya. Sesungguhnya dakwah manapun yang tidak berdiri di atas asas- asas tersebut dan manhajnya tidak di atas manhaj para rasul maka dakwah itu akan merugi, rusak, dan lelah tanpa faidah.