Kamis, 23 Juni 2011

Makna Sains Islam

Makna Sains Islam
Oleh Hamid Fahmi Zarkasyi

Memahami makna sains Islam tidak cukup dengan sebuah atau dua buah definisi. Ini tidak berarti bahwa sains Islam tidak definitive dan tidak jelas identitasnya. Sebab sebuah konsep ia memerlukan penjelasan-penjelasan dan pendekatan yang komprehensif. Ini dilatarbelakangi oleh suatu kondisi dimana sains Barat Modern dengan globalisasi, westernisasi dan berbagai macam pahamnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk dunia Islam, sehingga Muslim tidak lagi mampu membedakan antara identitas sains Islam dan sains Barat. Inilah yang disebut oleh Professor al-Attas sebagai loss of adab yang juga berarti loss of identity. Bahkan antara umat Islam tidak saja kesulitan mengidentifikasi diri, tapi sinis, takut dan malu dengan identitas Islam dan bahkan dia mencemooh identitas itu. Tidak sedikit cendikiawan Muslim yang masih canggung dengan identitas atau sifat “Islam” pada ilmu sosiologi, ilmu fisika, ilmu psikologi, ilmu ekonomi, ilmu politik dsb. Padahal ketika seseorang menyebut “sains modern” (modern sciences) atau sains Barat (Western Sciences), tanpa disadari, ia telah meletakkan suatu identitas sains tersebut, yaitu sains yang diproduksi oleh idiologi, kepercayaaan dan pandangan-pandangan yang berasal dari peradaban Barat. Demikian pula dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, politik, sosiologi dan lain sebagainya.
Dampak dan hilangnya identitas dapat diamati dari berbagai pernyataan pernyataan cendikiawan Muslim mengenai hal ini. Jamaluddin al-Afghani misalnya menyatakan:
“Barangsiapa yang melarang belajar sains dan ilmu pengetahuan dengan alasan untuk menjaga agama Islam, maka ia adalah musuh agama yang sebenarnya. Agama Islam adalah agama yang paling dekat dengan sains dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada ketidaksesuaian antara sains dan ilmu pentetahuan dengan dasar-dasar agama.” 
Sikap al-Afgani sejalan dengan sikap Sir Syed Ahmad Khan. Bagi Khan Karya Tuhan tidak akan bertentangan dengan kata atau firman-Nya. Jadi tidak mungkin sains bertentangan dengan agama. Dengan nada yang agak berbeda Fazlur Rahman juga setuju. Baginya ilmu netral tergantung kepada siapa yang menggunakannya. Baik al-Afghani, Ahmad Khan maupun Rahman tidak menjelaskan dan mungkin tidak menyadari bahwa Sains yang dipelajari umat Islam yang di abad 19 dan 20 adalah sains Barat. Sains yang lahir dari kepercayaan, kultur dan pandangan hidup manusia barat yang sekuler. 
Sikap-sikap diatas bagi Sayyed Hossein Nasr sama dengan menganggap sains Barat sama dengan sains Islam (‘ilm) dengan alasan karena sains Barat adalah hasil terjemahan dari karya-karya Muslim dalam bidang sains. Namun, para pemuja sains barat itu, kata Nasr, tidak meyadari bahwa setelah diterjemahkan sains Islam itu juga dimoifikasi dan disekulerkan, sehingga sains Modern merupakan produk filsafat sains di era Revolusi Sains dan telah mengalami perubahan paradigm sains abad pertengahan dan periode Renaissance awal. 
Selain itu, kebanyakan Muslim berpendirian bahwa sains itu bebas nilai (value free) jadi tidak ada bedanya antara sains Islam dan sains Barat. Pendirian ini, selain tidak menyadari adanya shift of paradigm, jelas-jelas menafikan kenyataan bahwa sains Barat, seperti juga sains lain, itu berdasarkan pada system nilai dan pandangan hidup (world view) tertentu yang akarnya dapat ditelusuri dari asumsi-asumsi para saintis terhadap hakekat realitas fisik, subyek yang memahami realitas itu dan hubungan keduanya. Untuk memperjelas perbedaan antara sains Barat dan dan Sains Islam Ziauddin Sardar menyatakan bahwa:
“Jika sains itu sendiri netral, maka sikap kita dalam mendekati sains itulah yang menjadikan sains itu sekuler atau Islami. Pendekatan Islam mengakui keterbatasan otak dan akal manusia, serta mengakui bahwa semua ilmu pengetahuan itu berasal dari Tuhan.” 
Sementara Identitas Sains Barat, sebagaimana disinyalir Maryam Jameelah :
“Sains modern tidak dibimbing oleh atau kehilangan nilai moralnya, bahkan dikuasai oleh materialism dan arogansi. Seluruh cabang ilmu dan aplikasinya telah terkontaminasi oleh borok yang sama.”
Jadi sains Barat tidak netral dan tentu sudah berbeda dengan sains Islam.
Karena sains Barat tidak member tempat pada wahyu, agama dan bahkan pada Tuhan, maka sains Barat dianggap netral. Di sini netral adalah bebas dari agama. Realitas Tuah tidak menjadi pertimbangan dalam sains Barat, karena Tuhan dianggap tidak riel. Namun sains tidak bebas dari idiologi, kultur, cara pandang dan kebudayaan manusia Barat. Dan ternyata dalam sains sendiri terdapat asumsi-asumsi, doktrin-dktrin yang tidak beda dengan agama. Pada akhirnya doktrin-doktrin sains yang dipercayai sebagai pasti, dipertentangkan dengan doktrin-doktrin agama yang dianggap tidak rasional dan tidak empiris. Yang terpojok dan dipojokkan adalah agama. Agama bahkan dipertanyakan dan dituntut untuk direformasi agar mengikuti asumsi-asumsi sains. Agama jadi termaginalkan dan kini ditinggalkan. 
Secara lebih luas lagi, perbedaan sains Barat dan sains Islam dapat ditelusuri dari perbedaan pandangan hidup (worldview) keduanya. Perbedaan pandangan hidup berarti perbedaan konsep-konsep fundamental di dalamnya. Konsep Tuhan, ilmu, manusia, alam, etika, dan agama berbeda antara peradaban satu dengan yang lain. Dalam situasi seperti ini pertemuan keduanya dapat berupa ancaman bagi yang lain. Faktanya memang sains Barat Modern itu ternyata menjadi tantangan bagi pandangan hidup (worldview) Islam. Dalam Islam pengatahuan tentang realitas itu tidak hanya berdasarkan pada akal saja, tetapi juga wahyu, intuisi dan pengalaman. Tapi sains Barat akal diletakkan lebih tinggi dari wahyu dan bahkan meninggalkan wahyu. Akhirnya, sains tidak berhubungan harmonis dengan agama, bahkan meninggalkan agama. 
Sejatinya, dengan memahami sains Barat dan sains Islam dengan konsep worldview, kita dapat dengan mudah mengenal identitas Sains Islam. Sebab dalam Islam cara pandang terhadap alam semesta, terhadap makna realitas, makna ilmu, tata nilai dan moralitas berbeda dengan cara pandang Barat. Menurut pandangan hidup Islam alam semesta ini merupakan Kitab Ciptaan (Created Book) Tuhan. Karena itu alam harus dipahami, dilihat, diamati dan diteliti dengan pandanga hidup Islam. Zaidi Ismail membahas bagaimana Islam memandang alam semesta yang merupakan obyk utama sains. Cara pandang Islam yang direfleksikan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview) itu dapat dilacak dari peristilahan yang digunakan di dalam Al-Qur’an dan Hadith. Istilah-istilah ilmu (‘ilm), Ilmuwan (al-‘alim), alam (al-‘alam) merupakan derivasi dari akar kata yang sama. Ini menunjukkan konsep integral antara subyek ilmu, obyek ilmu dan ilmu itu sendiri. Franz Rosenthal bahkan berani menyimpulkan bahwa ilmu adalah Islam. Alam sebagai sebagai ciptaan diistilahkan sebagai khalq memiliki akar yang sama dengan istilah moralitas manusia (Akhlaq). Ini menunjukkan bahwa memahami objek ilmu yang merupakan ciptaan Tuhan itu mesti menggunakan etika dan moralitas. ( Baca: kosmos dalam pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim).
Kaitan-kaitan antara diri ilmuwan, wahyu dan alam semesta dapat dengan mudah dipahami karena ketiganya memiliki ayat-ayat. Ayat artinya tanda dan tanda menunjukkan sesuatu yang lain dari dirinya. Jadi korelasi antara- ayat-ayat itu pada akhirnya, bagi orang yang berfikir, akan menunjukkan adanya Tuhan adalah Penciptanya. Selain melalui ayat-ayat kaitan itu juga dapat dipahami melalui konsep fitrah. Kaitan manusia dan alam wahyu dalam ikatan konsep fitrah, namun karena akal manusia tidak mampu memahami alam ini dengan baik, maka Allah menurunkan petunjuk yang berupa fitrah munazzalah yaitu Al-Qur’an. Artinya ketiga fitrah itu, jika dipahami dengan sebaik-baiknya akan menghasilkan ilmu yang benar. Dari kesamaan ini saja sudah dapat dijelaskan betapa integralnya ajaran Islam dalam memahami alam semesta yang merupakan basis bagi pengembangan sains dan teknologi. 
Konsep integral seperti yang digambarkan diatas berdampak terhadap orientasi sains masyarakat masyarakat Muslim dan itu adalah sebagian konsep dari worldview Islam yang dapat menjadi basis bagi lahirnya tradisi intelektual Islam. Professor Alparslan membuktikan secara teoritis bahwa Al-Qur’an dan hadith sebagai sebuah sumber ilmu pengetahuan Islam memiliki konsep keilmuan yang mendorong munculnya tradisi intelektual dan lahirnya sains serta ilmu pengetahuan Islam. 
Secara kronologis menurut Alparslan perjalanan dari Al-Qur’an menjadi disiplin ilmu didahului oleh tiga hal: pertama, adalah worlview (dari para ilmuwan), yang merupakan lingkungan konseptual dimana aktivitas keilmuan dikembangkan. Kedua, adalah jaringan konsep keilmuan yang telah jelas bentuknya, yang disebut sebagai “struktur konsep keilmuan” (scientific conceptual scheme. Dan ketiga, adalah jaringan kosa kata teknis dan cara pandang yang dihasilkan jaringan konsep dalam suatu ilmu tertentu, yang disebut dengan “struktur konsep keilmuan khusus” (specific scientific conceptual scheme). 
Pandangan hidup para ilmuan, yang dalam hal ini ilmuan Muslim, sudah barang tentu diperoleh dari apa yang diproyeksikan oleh Al-Qur’an yang dijelaskan oleh Nabi. Bagaimana Nabi mentransformasikan pandangan hidup Islam yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat ditelusuri terutama sejak Nabi Hijrah ke Madinah. Di sana beliau memulai membangun institusi-institusi khusus yang kemudian menjadi model pendidikan Islam pada masa-masa berikutnya. Al-suffah adalah “universitas” pertama yang dibangun sendiri oleh Nabi di Madinah. Mahasiswanya disebut ashab al-Suffah, atau ahl al-Suffah di dalamnya mereka membaca, menulis, belajar hukum-hukum Islam, menghapal dan mempraktekkan Al-Qur’an, belajar tajwid dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Semua diajarkan langsung di bawah pengawasan Nabi. Ubaidah ibn al-Samit misalnya, seperti disebutkan dalan Sunan Abu Dawud, ditunjukk Nabi menjadi guru di madrasah al-suffah untuk mengajar tulis-menulis dan ilmu-ilmu Al-Qur’an. 
Aktifitas ilmiyah dalam rangka memahami Al-Qur’an yang memproyeksikan pandangan hidup Islam dan yang memiliki struktur konsep keilmuan di dalamnya itu pada akhirnya melahirkan komunitas ilmuwan (scientific community). Komunitas ilmuwan atau ulama Islam ini kemudian mewariskan ilmunya ke generasi berikutnya dan demikian selanjutnya sehingga membentuk tradisi keilmuan dan juga disiplin ilmu. (Baca: Lahirnya Tradisi Keilmuan Dalam Islam). 
Jika lahirnya sains Islam dalam tradisi intelektual Islam telah dibuktikan secara teoritis dan historis oleh Alparslan, maka Adi Setia lebih memperjelas bagi identitas sains Islam dengan membeberkan makna teknis sains Islam. Adi menjelaskan bahwa makna sains Islam dapat diidentifikasi, pertama-tama, melalui fakta-fakta sejarah yaitu adanya tokoh-tokoh saintis muslim yang berwibawa seperti Ibn Haytham, Ibn Syna, al-Khawarizmi, al-Biruni, Omar Khayyam dan lain sebagainya. Saintis Muslim adalah mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam. 
Makna kedua dari sains Islam, menurut Adi, adalah pandangan-pandangan saintis atau cendikiawan Muslim yang secara teoritis, konseptual berangkat dari pandangan hidup Islam. Pandangan-pandangan yang telah berbentuk karya-karya ini memiliki identitas tersendiri sehingga secara tidak langsung berbeda atau kritis terhadap sains atau ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan Islam. Makna ketiga, adalah upaya-upaya ilmuan Muslim untuk merumuskan kembali konsep-konsep sains Islam berdasarkan pandangan hidup Islam dengan tujuan menghasilkan definisi, metodologi, paradigm keilmuan Islam yang dapat menghasikan teknologi yang tepat guna dan tepat nilai serta bermanfaat bagi kesejahteraan umat lahir dan bathin. 
Dengan paparan diatas identitas sains Islam sudah tidak perlu dipersoalkan lagi, baik secara teoritis, historis ataupun prospektifnya. Kajian historis bagaimana sains dalam Islam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam dan kehidupan umat Islam terbukti di Andalusia. Professor Wan Mohd Nor Wan Daud memaparkan bagaimana Andalusia merupakan kawasan paling beradab di dunia pada waktu itu, dimana sains, politik dan kehidupan social lainnya saling menopang dan saling bekerjasama dalam sebuah harmoni kehidupan ( Baca: Iklim Kehidupan Intelektual di Andalusi ). 
Professor al-Hassan membahas bagaimana sains Islam Lahir dan mencapai puncaknya antara abad ke 13 dan ke 16. Pernyataan ini mungkin mengejutkan peneliti sejarah sains Islam, karena kebanyakan orientalis dan cendikiawan Muslim yang terpengaruh dengan mereka, umumnya berpendapat bahwa gara-gara serangan al-Ghazali pada abad ke 10 terhadap filsafat maka filsafat dan sains di dunia Islam mundur. Padahal justru pada abad ke 13 sains Islam merangkak menuju puncak kejayaannya. Observatorium Maragha didirikan justru setelah Bahgdad jatuh yaitu tahun 1259. Aktifitas astronomi terus berkembang dan bahkan ditandai oleh astronomer Muslim terkenal ‘Ali Ibn Ibrahim Ibn Shatir (1304-1375), yang karyanya memberikan inspirasi Copernicus untuk menemukan teori Heliosentris. Di Istanbul Observatorium terpentingnya dibawah kepemimpinan Muhammd Ibn Ma’ruf al-Rashid al-Dymashqi masih berdiri tegak hingga tahun 1577 dibawah kekuasaan Sultan Murad III. Disini al-Hassan menegaskan bahwa lahirnya sains Islam disebabkan oleh prinsip-prinsip Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadith ( Baca: factor-faktor di balik kemunduran Ilmu Pengetahuan Islam setelah Abad ke 16 )
Kini persoalannya bukan apakah sains Islam itu ada atau pernah ada, tapi apa yang menyebabkan sains Islam di masa lalu itu mundur hingga kini. Al- Hassan menyimpulkan menjadi 4 faktor penyebabnya: pertama, karena factor ekologi dan alami; kedua, karena invasi-invasi eksternal; ketiga, adalah hancurnya perdagangan internasional dan berkembangnya kekuatan Barat, dan keempat, adalah factor intervensi dan kolonialisasi militer. Karena keempat hal inilah Muslim tidak lagi leading dalam bidang sains seperti pada abad ke 13 hingga abad ke 16. Meski demikian al-Hassan masih melihat kemungkinan-kemungkinan bangkitnya sains Islam di masa depan, mengingat sumber daya manusia dan juga sumber daya alam Negara-negara Muslim sangat potensial untuk itu. 
Paparan Dr.Zaidi, Dr. Adi Setia, Prof. Alparslan, Prof. Wan Mohd Nor dan Prof. al-Hassan telah cukup memberikan gambaran bahwa identitas sains Islam itu adalah riel. Namun kebingungan intelektual, kesalahpahaman dan kerancuan konseptual para cendikiawan Muslim, kini wujud sains Islam di sangsikan. Dipermukaan mungkin Nampak benar karena hegemoni epistemology atau filsafat sains Barat telah menghilangkan identitas sains Islam. Untuk itu Seyyed Hossein Nasr memberikan rambu-rambu penting bagi perjalanan menuju terciptanya sains Islam yang murni untuk menghilangkan kesangsian tersebut. Rambu-rambu tersebut pertama, menghilangkan sikap “memuja” sains dan teknologi Barat. Kedua, perlu adanya pendalaman terhadap sumber-sumber Islam tradisional dari al-Qur’an, Hadith, ilmu-ilmu tradisional seperti filsafat, teologi, kosmologi dan lain-lain untuk dapat memformulasikan pandangan alam Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep Islam tentang alam semesta dan ilmu alam. Yakni semua, seperti yang dipaparkan Alparslan, harus dilakukan dalam frame work tradisi intelektual Islam. Ketiga, Muslim perlu mempelajari sains modern setinggi-tingginya, khususnya sains murni dengan begitu mereka akan dapat melakukan transformasi teori secara mendalam. Keempat, menghidupkan kembali sains Islam tradisional sebisa mungkin, khususnya dalam bidang kedokteran, farmasi, pertanian dan arsitektur. Bidang-bidang ini tidak hanya akan menciptakan rasa percaya diri terhadap kultur mereka sendiri, tapi juga akan memberikan konsekuensi social dan ekonomi yang mendalam. Sangat aneh jika terapi akupuntur, Ayurveda, Yoga, Homopathy, dan sebagainya sangat marak, sementara kedokteran Islam masih absen dari aktifitas pengobatan alternative. Kelima, untuk menciptakan sains Islam yang asli adalah dengan mengawinkan sains dan etika, bukan dalam diri saintis tapi dalam struktur teoritis dan fondasi filsafat sainsnya. Yang terakhir inilah yang absen dari sains Barat Modern. Dari uraian yang akan dipaparkan pada edisi ini akan dapat diketahui bagaimana sejatinya sejarah, makna dan sains Islam. 
Kalau Emmanuel Kant menyatakan: “ I felt the need leave behind the books I read in order to believe in God” (Saya merasa perlu meninggalkan semua buku yang say abaca agar saya percaya kepada Tuhan), maka bagi Muslim tentu harus berkata:”saya perlu meninggalkan semua buku yang say abaca kalau buku itu tidak menambah keimanan saya kepada Tuhan.” Kalau Kant memilih logika either no, memilih ilmu atau Tuhan, Islam justru menyatukan ilmu dan Tuhan. Wallahu a’lam bissawab

Rabu, 08 Juni 2011

tujuh huruf dan tujuh qiro'at


Pengertian Tujuh Huruf Dalam Al Qur’an
Untuk mengawali pembahasan pengertian tujuh huruf dalam Al Qur’an ada baiknya kami sampaikan terlebih dahulu sebuah hadis yang menyatakan Al Qur’an turun dengan tujuh huruf:
روى مسلم عن أبي بن كعب أن النبي صلى الله عليه و سلم كان عند أضاة ( مسيل الماء إلى الغدير) بني غفار, فأتاه جبريل عليه السلام فقال: (( إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على حرف فقال: أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم أتاه الثانية فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك على حرفين, فقال : أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم جاءه الثالثة فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على ثلاثة أحرف, فقال : أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم جاءه الرابعة فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على سبعة أحرف فأيما حرف قرأوا عليه فقد أصابوا ))
Artinya: diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’ab bahwa ketika Nabi SAW berada di dekat parit Bani Ghifar, beliau didatangi Jibril seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. beliau menjawab: Aku meminta  kepada Allah ampunan dan maghfirohNya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu untuk membacakan Qur’an kepada umatmu   dengan dua huruf. Nabi menjawab: Aku memohon ampun kepada Allah dan maghfirohNya, umatku tidak kuat melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya, lalu mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: Aku memohon kepada Allah amupunan dan maghfirohNya, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu untuk membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.[1]
            Dari hadis di atas dapat kita ambil faidah bahwasannya perintah pertama kali untuk membacakan Al Qur’an adalah dengan satu huruf, kemudian Nabi mengatakan bahwa umatnya tidak dapat melaksanakan perintah itu. Kemudian Jibril turun sampai empat kali membawa perintah yang serupa yang pada akhirnya membawa perintah untuk membacakan Al Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaaan Pendapat Para Ulama Tentang Makna Tujuh Huruf
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa para ahli ilmu berbeda pendapat tentang makna dari
tujuh huruf. Pendapat-pendapat itu mencapai tiga puluh lima pendapat. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa pendapat tersebut:
1.      Ibnu Sa’dan An Nahwi menyatakan bahwasannya arti dari tujuh huruf itu adalah suatu masalah yang tidak diketahui artinya, karena huruf itu bisa diartikan sebagai huruf hijaiyah, atau atau sebuah kalimat atau arti dari sebuah kalimat. Jadi, tidak bisa diambil suatu kesimpulan yang pasti tentang arti dari tujuh huruf ini.[2]
2.      Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa tujuh di sini adalah tujuh macam pergantian yang terjadi dalam Al Qur’an, pergantian yang pertama adalah pergantian harokat dan tidak mengubah makna serta bentuk katanya, pergantian yang kedua adalah pergantian fi’il atau kata kerjanya seperti ba’ada menjadi ba’id sebagai kata perintah, pergantian yang ketiga adalah pergantian tanda titik seperti nansyuzuha menjadi nansyuruha, pergantian yang keempat   adalah pergantian huruf dengan makhroj yang dekat seperti tholaha menjadi thola’a, yang kelima pergantian kata dengan mengawalkan yang akhir dan sebaliknya seperti sakarotul mauti bil haqqi menjadi sakarotul haqqi bil mauti, keenam adalah pergantian dengan menambah atau mengurangi seperti wa ma kholaqo dzkaro wal unsta menjadi wa dzakari wal unsta, yang terkahir adalah pergantian kalimat seperti kal ‘ihnil mamfusy menjadi ka shoufil mamfusy.[3]
3.      Abu Fadhl Ar Rozi mengatakan tujuh macam perbedaan, yang pertama perbedaan nama dari mufrod, jama’, mustanna, muzakkar dan muannas, perbedaan kedua adalah perbedaan kata kerja seperti madhi, mudhori’ amr, ketiga adalah perbedaan ‘irob, keempat adalah perbedaan penambahan dan pengurangan, kelima perbedaan kalimat yang didahulukan atau sebaliknya (taqdim dan ta’khir), keenam pergantian, dan yang terakhir perbedaan bahasa seperti idghom, izhar, tarqiq, dan tafkhim.[4]
4.      Sebagaian ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah perbedaaan bacaan yang berupa idgham, izhar, tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad, qoshr, tasydid, takhfif, talyin, dan tahqiq.
5.     Adapun pendapat dari Ibn Jazary telah terjadi perbedaan antara bacaan yang benar, bacaan yang syazd, bacaan yang dho’if dan yang munkar di dalam tujuh tempat, seperti perbedaan yang terjadi dalam harakat dengan tidak mengubah arti dan bentuk, seperti bil bukhli, atau perbedaan harakat yang mengubah makna saja فتلقى آدم من ربه كلمات, atau perbedaan dalam huruf yang mengganti makna tapi tidak mengganti bentuk kata seperti تبلو  menjadi تتلو , kemudian perbedaan yang mengganti bentuk huruf dengan tidak mengganti makna seperti الصراط و السراط atau yang mengganti keduanya seperti وامضوا واسعوا atau perbedaan dalam taqdim dan ta’khir seperti فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ dan yang terakhir adalah perbedaan dlam pengurangan atau penambahan seperti وصى و أوصى , kemudian beliau menambahkan, “adapun perbedaan dalam izhar, idghom ,isymam dan sebagainya pada dasarnya ini bukanlah perbedaan dalam lafadz dan makna karena ini semua adalah sifat asli huruf.[5]
6.     Kemudian pendapat lain yang dipaparkan oleh Sufyan bin ‘Uyaynah, Ibn jarir dan Ibn Wahab bahwasannya yang dimaksud tujuh macam adalah makna yang satu yang terdapat dalam lafaz-lafaz yang berbeda, pendapat ini mereka perkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang berbunyi:

أَنَّ جِبْرِيلَ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : اقْرَأ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ ، فَقَالَ لَهِ مِيكَائِيلُ : اسْتَزِدْهُ ، فَقَالَ : حَرْفَيْنِ ، فَقَالَ : اسْتَزِدْهُ حَتَّى بَلَغَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ ، فَقَالَ : كُلُّهَا شَافٍ كَافٍ كَقَوْلِكَ هَلُمَّ وَتَعَالَ مَا لَمْ يَخْتِمْ آيَةَ رَحْمَةٍ بِآيَةِ عَذَابٍ وَآيَةَ عَذَابٍ بِآيَةِ رَحْمَةٍ.

                        Sesungguhnya Jibril telah berkata kepada Rasulullah SAW : bacalah Al Qur’an dengan satu huruf, maka berkatalah Mika’il kepadanya, tambahlah, kemudian berkata JIbril, dua huruf, berkata lagi Mika’il, tambahlah sampai tujuh huruf, kamudian Jibril berkata, setiap darinya (tujuh huruf) menyembuhkan dan cukup seperti perkataan engkau halumma, ta’ala apa-apa yang tidak merubah ayat-ayat rahmat dengan ayat-ayat azab atau ayat-ayat azab dengan ayat-ayat rahmat.

Kemudian terdapat riwayat lain yang dapat menjadi penguat pendapat yang ke enam yaitu hadis yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أقرأني جبريل على حرف فراجعته, فلم أزل أستزيده و يزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف. (( متفق عليه ))
Artinya: Rosulullah berkata: Jibril membacakan Qur’an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.[6]
            Inilah dalil yang menjadi bukti bahwa Al Qur’an mempunyai tujuh ragam huruf atau cara membaca. Ini disebabkan bangsa Arab memiliki banyak qabilah, dan setiap qabilah mempunyai lahjah yang berbeda dengan lahjah qabilah yang lain. Maka dengan turunnya Al Qur’an dalam tujuh huruf memudahkan mereka dalam membaca, mengahafal, dan memahaminya. Dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar, sesuai dengan hadis yang sudah dipaparkan di atas.
             Inilah beberapa pendapat dari tiga puluh lima pendapat yang telah disebutkan oleh Ibn Hibban dari beberapa ulama, dan antara pendapat yang satu dengan pandapat yang lain terdapat kemiripan serta saling menguatkan. Namun perbedaan-perbedaan ini tidaklah menunjukkan adanya beragam penafsiran di dalam hukum-hukum syariat, khususnya yang menyangkut masalah halal dan haram. Khalifah Umar bin Khattab dan sahabat Hisyam bin Hakim disebutkan dalam sebuah hadis dari shohih Bukhori bahwa mereka berdua tidak berbeda di dalam tafsir dan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi mereka berbeda dalam bacaan huruf. Hadis itu berbunyi:
حَدِيْثُ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ هِشَامَ بْنِ حَكِيْمٍ بن حزام يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَفِيْ رِوَايَةٍ عَلَى حُرُوْفٍ كَثِيْرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيْهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اِقْرَأْ فَقَرَأَ القِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَكَذَا أُنْزِلَتْ" ثُمَّ قَالَ لِي اِقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ: "هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهٌ"
Hadis dari Umar bin Khottob bahwa di  berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqon dengan bacaan yang berbeda dari apa yang aku baca”, dalam riwayat lain, “dengan huruf-huruf yang banyak yang tidak Rasulullah bacakan kepadaku”. Maka aku berkata:” wahai Rasulullah aku mendengar ini membaca surat Al-Furqon dengan yang selain engkau bacakan kepadaku”. Maka Rasulullah bersabda: “Utuslah dia dan bacalah”, maka dia membacadengan qira’at yang aku dengar, maka Rasulullah bersabda:”seperti inilah diturunkan”, kemudian beliau bersabda kepadaku:” bacalah”, maka aku membacanya, kemudian beliau bersabda:”seperti inilah diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah yang mudah darinya”.[7]
           
Kemudian terjadi perbedaan pendapat, apakah mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini telah mencakup tujuh macam huruf itu?. Tentang ini para fuqoha, ahli qiro’at dan ahli ilmu kalam berpendapat bahwasannya mushaf Utsmani telah mencakup tujuh huruf itu dan sesungguhnya para sahabat telah sepakat dengan penulisan mushaf Utsmani dari mushaf yang ditulis oleh Abu Bakar, dan mereka sepakat untuk meninggalkan selain mushaf itu. Mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini adalah bacaan  terakhir yang dibacakan Rosulullah SAW kapada Jibril sebelum beliau wafat, dan bacaan itu telah mencakup tujuh huruf yang berbeda itu tadi.

Ibn Jarir Ath-Thobary berkata bahwasannya bukanlah suatu kewajiban  atas umat ini untuk membaca Al Qur’an dengan ketujuh huruf itu sekaligus, melainkan ini adalah suatu pilihan untuk membacanya dengan salah satu hurufnya. Karena itu ketika para sahabat bersepakat untuk menyetujui satu mushaf yang ditulis di masa pemerintahan Utsman bin Affan, mereka berijtihad bahwasannya umat ini akan terpecah apabila tidak disatukan bacaan mereka ke dalam satu mushaf. Ditakutkan dari mereka ada yang menganggap bacaan merekalah yang paling benar dibandingkan bacaan yang lain. Atas dasar itu para sahabat sepakat untuk menyetujui mushaf Utsmani dan meninggalkan mushaf yang lain, dan tidak ada keraguan bahwasannya sebagian dari bacaan Al Qur’an itu ada yang mansukh ketika Rosulullah SAW membacakannya kepada Jibril untuk terakhir kali sebelum beliau wafat.

Imam Baghowi di dalam kitabnya syarhu sunnah mengatakan bahwasanya sahabat Zaid bin Tsabit ra telah menyaksikan bacaan terakhir ketika Rosulullah SAW membacakannya kepada Jibril dan menjelaskan apa- apa yang telah mansukh dari bacaan itu dan apa-apa yang telah ditetapkan, kemudian beliau menuliskannya untuk Rosulullah SAW dan membacakannya kepada umat ketika itu sampai Rosulullah wafat. Untuk itulah Khalifah Abu Bakar dan Umar telah bergantung kepada Zaid bin Tsabit dalam penulisan Al Qur’an di zaman mereka dan kemudian ditulis pada zaman Utsman dalam bentuk mushaf. Ibn Abi Syaibah dalam kitab fadho’ilnya mengatakan dari jalan Ibn Sirin dari ‘Ubaidah As Salmani beliau berkata “qiro’ah yang dibaca Nabi pada tahun beliau diwafatkan, adalah qiro’ah yang dibaca oleh umat pada hari ini.[8]

Al-Qodhi Abu Bakar bin Ath-Thib, Ibn Abdil Bar, Ibn Aroby, dan yang selainnya berpendapat bahwasannya perbedaan bahasa di antara kabilah-kabilah arab dan kesulitan pegucapannya membutuhkan keluasan dalam pembacaan Al-Qur’an pada permulaan turunnya wahyu. Maka Allah mengizinkan masing-masing di antara mereka untuk membaca Al-Qur’an dengan huruf mereka atau bahasa mereka atau cara mereka. Sampai pada masa akhir hayat Rasulullah ketika lisan para sahabat telah terlatih untuk membaca Al-Qur’an dan memungkinkan mereka untuk menyatukan bacaan ke dalam satu bahasa, maka Jibril membacakan kepada Rasulullah dua kali dalam satu tahun yang terakhir dan bacaan itulah seperti yang kita baca samapai pada saat ini. Kemudian Allah telah mennaskh bacaan-bacaan yang telah diizinkan sebelumnya dan mewajikan satu bacaa seperti yang telah dibacakan kepada Nabi SAW.

Perbedaan Tujuh Huruf dengan Tujuh Qiro’at

 Pada saat ini kita mengenal ada tujuh bacaa qiro’at yang berasal  dari para imam yang berbeda. Namun perlu diketahui, qiro’at-qiro’at itu bukanlah tujuh huruf sebagaimana yang dimaksud dalam hadis di atas, menurut pendapat yang paling kuat, meskipun kesamaan bilangan di antara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiro’at-qiro’at itu hanya merupakan mazhab bacaan Qur;an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan didunakan umat hingga kini. Sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba’, madd, qoshr, tasydid, takhfif, dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy. Sedangkan maksud dari tujuh huruf itu bebeda dengan qiro’at seperti yang sudah dijelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir. Al Qur’an bukalah qiro’at. Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedangkan qiro’at adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut, seperti takhfif, tatsqil, bacaan panjang dan sebagainya.
Lebih lanjut Imam Thobary mengatakan: “Adapun perbedaan bacaan seperti merofa’kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan, dan memindahkannya ke tempat lain dalam bentuk yang sama semua itu tidak termasuk dalam ucapan Nabi, “ Aku diperintah untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf”, sebab sebagaimana diketahui, tidak ada satupun huruf dari Al Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini menjadi kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat ulama –padahal Nabi mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran – itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat. Nampaknya, yang menyebabkan banyak orang kepada kesalah pahaman ini adalah kesamaan bilangan tujuh dalam hadis dengan qiro’at yang popular ini, sehingga permasalahan menjadi kabur bagi mereka. Ibnu ‘imar berkata: orang yang menginterprestasikan qiro’at tujuh terhadap kata sab’ah pada hadis di atas telah melakukan apa yang sebenarnya tidak pantas dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan pada setiap orang bahwa qiro’at-qiro’at itulah yang dimaksud oleh hadis. Alangkah baiknya andaikata qiro’at yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.[9]  Allahu A’lam…………



[1]  HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, Ath Thoyalisi.
[2]  Imam As Suyuthi, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, bab 16: tentang cara turunnya Qur’an, hal, 47. Juz 1
[3]  Ibid hal. 47
[4]  Ibid hal. 47
[5]  Ibid hal, 47
[6]  Hadis Bukhori, Muslim dan lain-lain
[7]  HR. Muslim, Nasa’I, Bukhori.
[8]  Ibid hal. 51
[9]  Manna Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, hal: 243

Senin, 06 Juni 2011

istawa jadi istawla


BAGIAN PERTAMA: Konsep ta’wil dalam permasalahan Asma’ wa Sifat

Mengapa mereka menta’wil sifat Allah?
Allah subhanahu wa ta’la berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya:
Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asy-Syura: 11)
Pada Ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala menafikan penyerupaan Dzatnya Yang Maha Agung dengan makhluk-Nya. Allah melarang hamba-Nya untuk menyerupakan Dzat-Nya dengan makhluk-Nya. Namun jika kita perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, banyak kita dapati sifat-sifat Allah yang mana sifat tersebut juga ada pada makhluk-Nya. Contoh sifat tangan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
Artinya:
Allah berfirman: "Hai iblis, Apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) Termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?".(Shad: 75)
Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa sifat tangan ada pada Diri-Nya subhanahu wa ta’ala. Kemudian muncul pertanyaan jika Allah memiliki tangan apakah itu berarti Allah seperti makhluk-Nya? Sedangkan pada ayat yang telah lalu, kita dilarang untuk meyakini penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Di sisi lain tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an saling bertentangan. Kalau begitu pastilah ada makna tersembunyi dibalik sifat tangan yang dikabarkan pada ayat ini.
            Berangkat dari pemahaman ini, sebagian umat muslim mencoba menawarkan solusi bagi kemusykilan ini. Mereka membawa sebuah metode yang menurut mereka bisa menjaga umat Islam dari kesalahan aqidah terlebih dalam masalah penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Metode mereka adalah metode ta’wil, adapun kelompok ini sebut saja mu’awilah. Karena dalam pengertian bahasa Arab mu’awwil berarti orang yang melakukan ta’wil.  
Secara mendasar pengertian ta’wil adalah memaknai suatu kata dengan makna majas yang tersirat di dalamnya. Sebagai contoh ketika seseorang mengatakan, “Rini adalah bunga desa di kampung kita” maka orang yang mendengar ini langsung mengetahui bahwa bunga yang dimaksud adalah seorang wanita cantik bukan bunga sesungguhnya yang mekar di taman. Nah kaum mu’awilah meyakini bahwa sebagian besar sifat Allah yang memiliki kesamaan dengan makhluk-Nya menunjukkan kepada makna majas yang tersembunyi. Dan makna itulah yang seharusnya diyakini oleh umat muslim, bukan makna hakiki dari sifat tersebut.
Pada sifat tangan di atas, kelompok mu’awwilah menta’wilkannya kepada makna kekuatan dan kekuasaan. Hal ini karena jika seorang muslim meyakini tangan Allah dengan makna hakiki , dia akan rentan terjerumus kepada penyerupaan Allah terhadap makhluk-Nya. Maka cara yang selamat—menurut mereka—adalah ta’wil.    
            Tidak seluruh sifat Allah mereka ta’wilkan. Meraka hanya menta’wilkan sifat-sifat yang tidak pantas—menurut mereka—disandangkan kepada Rabb Jalla wa ‘Ala. Adapun sifat-sifat yang pantas disandangkan kepada Allah tidak mereka ta’wilkan. Mereka menyebut sifat-sifat ini dengan istilah sifat ma’ani, seluruhnya berjumlah tujuh yaitu; Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat, Kalam, Sama’, dan Bashar. Jika ada ayat atau hadits yang menyebutkan sifat selain ketujuh sifat tersebut maka sifat itu harus dita’wilkan.

Dari mana mereka memperoleh tujuh sifat ini?
            Golongan mu’awilah mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan makhluk-Nya pastilah Allah lebih mengetahui apa yang diciptakan dan bagaimana penciptaannya hal inilah yang menjadi bukti ilmu Allah subhanahu wa ta’ala. Kemudian ciptaan Allah tidak akan terwujud jika tidak ada kekuasaan, inilah bukti dari sifat qudrah. Beragamnya ciptaan Allah seperti ada yang indah, jelek, baik, jahat dan lain sebagainya menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak ketika menciptakannya inilah bukti yang menunjukkan sifat iradah. Ketiga sifat ini yaitu qudrah, iradah, dan ilmu tidak terdapat kecuali pada sesuatu yang hidup. Maka inilah bukti dari sifat hayat. Kemudian sesuatu yang hidup pasti berbicara, melihat, dan mendengar, maka inilah bukti dari sifat kalam, sama’ dan bashar. Kira-kira demikianlah mereka menetapkan tujuh sifat ini sebagai sifat ma’ani.

Kritik dan Sanggahan
Pertama, konsep ini adalah konsep akal untuk menetapkan suatu aqidah dan keyakinan. Apakah aqidah ditetapkan dengan akal? Seharusnya aqidah dibangun di atas dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah kemudian akal digunakan untuk memahami dan membenarkan, bukan untuk menetapkan. Karena tidak ada cara untuk menetapkan aqidah kecuali dengan wahyu.
Kedua, merujuk kepada akal beresiko menimbulkan perbedaan pendapat, karena akal manusia berda-beda satu sama lain. Buktinya adalah pada perkembangan golongan mu’awwilah sendiri. Semula mereka hanya menetapkan tujuh sifat, namun kemudian mereka menetapkan lagi sifat-sifat yang lainnya menjadi dua puluh yang saat ini dikenal dengan sifat dua puluh.   
Ketiga, ketika mereka menta’wilkan seharusnya mereka mendatangkan bukti. Karena kita mengetahui bahwa ta’wil ada dua macam yang boleh dilakukan dan yang dilarang. Ta’wil boleh dilakukan jika ada bukti yang benar, namun jika tidak ada bukti atau bukti tersebut tidak dapat diterima maka ta’wil tersebut tidak boleh dilakukan. Namun sebagian besar ta’wil golongan mu’awilah hanya dibangun di atas dugaan.
Keempat, mereka melakukan ta’wil dengan alasan agar terhindar dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya. Ketahuilah bahwa ta’wil tidak sepenuhnya menyelamatkan mereka dari tasybih(penyerupaan), mereka masih terjebak di dalam tasybih karena sifat-sifat yang mereka tetapkan juga merupakan sifat makhluk-Nya juga.
Kelima, jika mereka mengatakan “ tidak, kami tidak mengimaninya seperti itu. Kami  mengimani sifat-sifat yang kami tetapkan ini(sifat ma’ani) sesuai dengan Keagungan  dan Kebesaran Allah ‘azza wa jalla”. Kalau begitu mengapa anda tidak mengimani sifat-sifat lainnya sesuai dengan Keagungan  dan Kemuliaan Allah subhanahu wata’ala?
Keenam, menta’wilkan sifat-sifat Allah kepada makna majas yang dikandungnya tidak pernah diyakini oleh pendahulu kita dari kalangan sahabat dan ulama-ulama salaf. Berikut fatwa-fatwa dari para salaf tentang bagaimana mengimani sifat-sifat Allah:
1. Al- Walid ibn Muslim(195 H) rahimahullah mengatakan: Ketika  Auza’i(157 H), Malik(179 H), Sufyan Tsauri(161 H), Laits ibn Sa’ad(175 H) rahimahumullah ditanya tentang hadits-hadits tasybih mereka manjawab:
أَمِرُّوهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ
Artinya:
Yakinilah hadits-hadits tersebut sebagaimana adanya tanpa “kaifiyyah”[1].

2. Imam Abdul Aziz ibn Yahya Al-Kinani Asy-Syafi’i rahimahullah (240 H) mengatakan:
وَعَلَى الخَلْقِ جَمِيعاً أَنْ يُثْبِتُوا مَا أَثْبَتَ اللهُ، وَيَنْفُوا مَا نَفَى اللهُ، وَيُمْسِكُوا عَمَّا أَمْسَكَ اللهُ
Artinya:
Wajib bagi seluruh manusia untuk menetapkan sifat-sifat yang ditetapkan oleh Allah, menafikan sifat-sifat yang dinafikan oleh Allah, serta bersikap diam terhadap apa yang tidak dikabarkan oleh Allah[2].
3. Imamul Haramain Abul Ma’ali Al-Juwaini(478 H) rahimahullah mengatakan:
مَا وَرَدَ الشَرْعُ بِإِطلَاقِهِ فِى أَسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى وَصِفَاتِهِ أَطْلَقْنَاهُ وَمَا مَنَعَ الشَرْعُ مِنْ إِِطْلَاقِهِ مَنَعنَاهُ وَمَا لَمْ يَرِد فِيهِ إِذْنٌ وَلَا مَنْعٌ لَمْ نَقْضِ فِيهِ بِتَحلِيلٍ وَلَا تَحْرِيمٍ فَإِنَّ الأَحْكَامَ الشَرْعِيَّةَ تُتَلَقَّى مِنْ مَوَارِدِ الشَرْعِ وَلَو قَضَيْنَا بِتَحْلِيلٍ أَو تَحْرِيمٍ لَكُنَّا مُثْبِتِينَ حُكْمًا بِغَيرِ الشَرْعِ
Artinya:
Kami menyatakan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang dinyatakan dalam syariat. Dan kami menafikan nama-nama dan sifat-sifat yang dilarang dalam syariat. Adapun yang tidak terdapat pembolehan maupun larangannya dalam syariat, maka kami tidak menentukannya. Karena segala hukum syariat diperoleh dari sumber-sumber hukum syariat, apabila kami menetapkan pembolehan atau pelarangannya sama halnya kami menetapkan hukum tanpa dalil syariat[3].  
Kami cukupkan ketiga pernyataan ini dari pala ulama sebagai bukti aqidah yang mereka yakini. Kami bawakan pendapat mereka yang wafat sebelum Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah(728 H) rahimahullah agar tidak ada kerancuan bahwa pendapat ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah  saja. Juga menepis selentingan yang mengatakan Ibnu Taimiyyahlah yang pertama kali menggagas pendapat ini. Akan tetapi Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang juga mengambil pendapat ini dari para salaf.  


BAGIAN KEDUA: Diskusi ta’wil Istawa menjadi Istaula.

Pengertian istiwa’
Kata istiwa’ adalah bentuk nominal dari kata kerja istawa. Secara garis besar kata istawa dalam Al-Qur’an ada dua macam; mutlak dan muqayyad.
Yang dimaksud mutlak adalah ketika kata tersebut berdiri sendiri, tidak terangkai dengan huruf-huruf lain setelahnya. Contohnya, firman Allah ta’ala:
وَلَمَّا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَ<span>اسْتَوَى</span> آَتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ

Artinya:
Dan setelah Musa cukup umur dan <span>sempurna</span> akalnya, Kami berikan ke- padanya Hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.(Al-Qashash: 14)
Pada ayat di atas kata istawa berdiri sendiri tanpa rangakaian dengan huruf lain. Maka kata istawa yang demikian memiliki arti “sempurna”.
Adapun yang dimaksud muqayyad adalah apabila kata istiwa dirangkai dengan huruf tertentu dalam bahasa Arab. Ada tiga huruf yang dirangkaikan ke dalam kata istawa; ila, ‘ala, dan waw yang bermakna bersama. Contohnya adalah sebagai berikut.
  1. Yang dirangkai dengan huruf ila, firman Allah ta’ala:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ <span>اسْتَوَى إِلَى</span> السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu kemudian Dia <span>menuju</span> ke langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Al-Baqarah: 29)
Dengan ini maknanya adalah menuju suatu tempat yang tinggi yaitu langit. Insya Allah akan datang tafsir Imam Syafi’i rahimahullah tentang langit.

  1. Yang dirangkai dengan huruf ‘ala, firman Allah ta’ala dalam surah Al-Fath ayat 9:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ <span>فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ</span> يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا  
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan <span>tegak Lurus di atas pokoknya</span>; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dengan ini, jika kata istawa dirangkai dengan huruf ‘ala maka maknanya adalah “berada di atas”.

  1. Yang dirangkai dengan huruf waw yang bermakna “bersama”, contohnya adalah kalimat dalam bahasa Arab berikut:
 اِستَوَى المَاءُ وَ الخَشَبَةُ
Air itu sejajar dengan kayu.
Maka jika kata istawa dirangkai dengan huruf waw yang berarti “bersama” maknanya adalah “sama, seimbang, atau sejajar”.

Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy[4]
Permasalahan ini termasuk di antara permasalahan yang paling sering diperdebatkan antara Ahlus Sunnah dan golongan mu’awwilah. Ahlus Sunnah mengimani sifat istiwa’  dengan maknanya sebagaimana yang dikabarkan Allah dalam Al-Qur’an sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى   
Ar-Rahman  yang beristiwa’ di atas 'Arsy( Thaha:5)
            Sedangkan golongan mu’awwilah tidak, mereka mengatakan jika kita mengimani sifat ini sama halnya kita mengimani bahwa Allah sama dengan makhluk-Nya. Karena beristiwa’ di atas ‘arsy(singgasana) adalah sifat makhluk sebagaimana seorang raja yang beristiwa’ di atas singgasananya. Maka mereka mencari makna lain yang sesuai bagi Allah. Akhirnya mereka menemukan makna yang pas yaitu istaula(menguasai). Nah kalau yang ini pas, karena Allah adalah penguasa kalau hanya sekedar beristiwa’ saja banyak di antara makhluk-Nya yang melakukannya.

Kritik dan Sanggahan
Pertama: Para salaf tidak pernah memaknai istawa dalam ayat ini dengan makna istaula’. Berikut fatwa ulama dalam memahami ayat ini.
1. Imam Rabi’ah ibn Abi Abdirrahman(136 H)—beliau  adalah salah seorang guru Imam Malik—rahimahullah  ditanya tentang istiwa’ yang terdapat dalam ayat:
 الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Bagaimana Allah beristiwa’?
Beliau menjawab:
الكَيفُ مَجْهُولُ ، وَالاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَعْقُولٍ ، وَيَجِبُ عَلَيَّ وَعَلَيْكُمْ الإِيْمَانُ بِذَلِكَ كُلِّهِ
Artinya:
Bagaimana Allah beristiwa’ tidak bisa diketahui, dan akal tidak dapat menalarnya, akan tetapi wajib bagi saya dan anda untuk mengimaninya[5].

2. Imam Malik ibn Anas rahimahullah juga ditanya dengan partanyaan serupa kemudian beliau menjawab:
الرَّحْمَنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى  كَمَا وَصَفَ نَفْسُهُ وَلَا يُقَالُ كَيفَ وَكَيْفَ عَنْهُ مَرْفُوعٌ وَ أَنْتَ رَجُلٌ سُوءٍ صَاحِبُ بِدْعَةٍ أَخْرِجُوهُ
Artinya:
Ar-Rahman beristiwa di atas Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan, tidak boleh mengatakan bagaimana(istiwa’-Nya) dan bagaimana Allah naik? Adapun anda adalah  seorang ahli bid’ah maka pergilah![6]

Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ غَيرُ مَجُهولٍ وَالكَيفُ غَيرُ مَعْقُولٍ وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَمَا أَرَاكَ إِلَّا مُبْتَدِعًا
Istiwa’ Allah diketahui (maknanya),namun akal tidak dapat menalar bagaimana Allah beristiwa’, akan tetapi wajib bagi kita untuk mengimaninya. Adapun menanyakan bagaimana Allah beristiwa’ adalah perbuatan bid’ah, dan saya  yakin anda(yaitu orang yang bertanya) adalah ahli bid’ah[7].

3. Imam Auza’i  rahimahullah mengatakan:
كُنَّا وَالتَّابِعُونَ مُتَوَافِرُونَ نَقُولُ : إِنَّ اللَّهُ تَعَالَى فَوْق عَرْشِهِ وَنُؤْمِنُ بِمَا وَرَدَتْ بِهِ السُّنَّة مِنْ صِفَاتِهِ     
Artinya:
Kami dan para tabi’in lainnya mengatakan: Sesungguhnya Allah berada di atas Arsy’ dan kami mengimani seluruh sifat yang terdapat dalam sunnah[8].

4. Imam Sufyan ibn Uyaynah (198 H)—beliau adalah salah seorang guru Imam Syafi’i—rahimahullah mengatakan:
كُلُّ مَا وَصَفَ اللهُ تَعَالَى مِنْ نَفْسِهِ فِي كِتَابِهِ، تَفْسِيرُهُ تِلَاوَتُهُ وَالسُّكُوتُ عَنْهُ
Seluruh sifat Allah di dalam Kitab-Nya(Al-Qur’an), tafsirnya adalah membacanya dan tidak berkomentar tentangnya[9].

5. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ثُمَّ مَعنَى قَولِهِ فِي الكِتَابِ: "مَنْ فِي السَّمَاءِ"(الملك:16) : مَنْ فَوقَ السَّمَاءِ عَلَى العَرْشِ، كَمَا قَالَ: "الرَّحْمَنُ عَلَى العَرشِ اسْتَوَى"(طه:5) وَكُلُّ مَا عَلَا فَهُوَ سَمَاءٌ وَالعَرْشُ أَعْلَى السَّمَاوَاتِ، فَهُوَ عَلَى العَرْشِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى كَمَا أَخْبَرَ بِلَا كَيفٍ بَائِنٌ مِن خَلْقِهِ غَيْرُ مُمَاسٍّ مِنْ خَلْقِهِ: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِي(الشورى:11)
Artinya:
Firman Allah: “Yang berada di langit”(Al-Mulk: 16) artinya adalah “Yang berada di atas Arsy” sebagaimana firman-Nya: Ar-Rahman beristiwa’ di atas ‘Arsy(Thaha: 5).
Karena segala sesuatu yang tinggi dinamakan langit, dan ‘Arsy berada di langit yang paling tinggi. Allah berada di atas ‘Arsy sebagaimana yang Dia kabarkan tanpa harus menanyakan bagaimana Dia beristiwa’. Allah jauh berbeda dari makhluk-Nya dan tidak serupa sedikitpun dengan mereka, karena Tidak ada yang serupa dengan-Nya(Asy-Syura: 11)[10] 

6. Imam Baihaqi(458 H) rahimahullah mengatakan:
فَالمُتَقَدَّمُونَ مِن أَصْحَابِنَا—رضي الله عنهم—كَانُوا لَا يُفَسِّرُونَ وَلَا يَتَكَلَّمُونَ فِيهِ كَنَحْوِ مَذْهَبِهِمْ فِي أَمْثَالِ ذَلِكَ
Artinya:
Para pendahulu kami dari mazhab Syafi’i tidak menafsirkan (sifat-sifat Allah) dan tidak berpendapat sebagaimana mereka berpendapat di dalam mazhab[11].
Ketiga, ta’wil yang benar harus berdasarkan bukti yang benar. Kaum mu’awilah tidak memiliki bukti atau dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah bahwa makna istawa dalam ayat ini adalah istaula. Tidak ada ayat maupun hadits yang memberikan isyarat atau menjelaskan langsung bahwa makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy berarti Allah menguasainya.
Keempat, satu-satunya bukti bagi mereka adalah dari sisi bahasa(etimologi). Jika anda menelusuri makna kata istawa dalam kamus-kamus referensi Bahasa Arab semisal Ash-Shahhah karya Al-Jauhari, Tajul ‘Urus karya Murtadha Az-Zabidi, atau Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur anda akan mendapati makna istaula(menguasai). Namun seluruh kamus-kamus tersebut menyebutkan pijakan yang sama yaitu sebuah Syair yang berbunyi:
قَدِ اسْتَوى بِشْرٌ على العِرَاق من غَيرِ سَيْفٍ ودَمٍ مُهْراقٍ
Artinya:
“Bisyr telah menguasai Iraq tanpa pedang dan pertumpahan darah”[12]
Namun siapakah pengarang Syair ini? Syair ini dinisbatkan kepada Al-Akhthal An-Nashrani. Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’I rahimahullah dalam Kitabnya Al-Bidayah wan Nihayah mengatakan bahwa Al-Akhthal ini adalah seorang Arab yang beragama Nasrani[13]. Pertanyaannya bagaimana bisa kaum mu’awilah ini lebih memilih perkataan seorang Nasrani—yang aqidahnya jelas-jelas berbeda—sebagai dalil untuk pendapat mereka ketimbang fatwa-fatwa para Imam yang disepakati keilmuan serta keimamannya di mata umat Islam? Apakah seorang Nasrani lebih tahu tentang Allah ketimbang para ulama salaf? Jika seorang muslim memakai metode ini, yaitu belajar agamanya dari orang yang berbeda agama, jadi apa kira-kira agama ini?
Kelima: para ulama lughah(bahasa) telah sepakat bahwa istiwa’ dengan makna istaula(menguasai) hanya diungkapkan jika sebelumnya terjadi pertarungan atau perebutan kekuasaan hingga salah satu dari yang berkompetisi memenangkan pertarungan. Jika mereka masih bersikeras memaknai istawa dengan makna “menguasai” maka hal ini berarti harus ada pertarungan antara Allah dan ‘Arsy sampai Allah menguasai ‘Arsy, dan ini adalah pendapat yang batil, karena bertentangan dengan kaidah Bahasa Arab.
Keenam: apabila dikatakan: kami tidak berpendapat demikian. Istila’(penguasaan) Allah terhadap ‘Arsy tidak mutlak  harus ada pertarungan sebelumnya karena istila’ Allah adalah istila’ yang sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya. Kalau begitu mengapa anda tidak mengatakan konsep ini dari awal? Mengapa anda tidak mengatakan Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy sesuai dengan Kebesaran dan Keagungan-Nya? Apa yang menghalangi anda mengatakan demikian, sehingga anda menta’wilnya terlebih dahulu?  Jika anda mengatakan konsep ini dari awal, kan anda tidak perlu repot-repot menta’wilnya, apalagi ta’wilnya belum tentu benar.
Ketujuh,  Allah beristiwa di atas ‘Arsy menunjukkan bahwa perbuatan-Nya ini khusus dilakukan terhadap makhluk-Nya ‘Arsy. Ta’wil istiwa’ menjadi istila’ menuntut seseorang untuk memperluas maknanya menjadi umum kepada seluruh makhluk karena Allah menguasai makhluk-makhluk lain selain ‘Arsy. Adapun istiwa’ Allah hanya mengabarkan bahwa Dia hanya  melakukannya terhadap ‘Arsy. Jika memang istiwa’ disini berarti “menguasai” tentulah Allah juga akan mengabarkan bahwa Allah beristiwa’ di atas makhluk-makhluk yang lain, tapi nyatanya kita tidak menjumpai yang demikian di dalam Al-Qur’an maupun Sunnah. Imam Abul Hasan Al-Asy’ari Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
ولو كان هذا كما ذكروه كان لا فرق بين العرش والأرض السابعة لأن الله تعالى قادر على كل شيء والأرض لله سبحانه قادر عليها وعلى الحشوش وعلى كل ما في العالم فلو كان الله مستويا على العرش بمعنى الاستيلاء وهو تعالى مستو على الأشياء كلها لكان مستويا على العرش وعلى الأرض وعلى السماء وعلى الحشوش والأقدار لأنه قادر على الأشياء مستول عليها وإذا كان قادرا على الأشياء كلها لم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول إن الله تعالى مستو على الحشوش والأخلية تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا لم يجز أن يكون الاستواء على العرش الاستيلاء الذي هو عام في الأشياء كلها ووجب أن يكون معنى الاستواء يختص بالعرش دون الأشياء كلها
Artinya:
Andaikata ini benar sebagaimana pendapat mereka(yaitu ta’wil istiwa’ menjadi istila’) maka tidak ada bedanya antara ‘Arsy dan lapisan bumi yang ketujuh. Karena Allah berkuasa atas segala sesuatu, bumi, pohon dan segala yang ada di alam. Jika memang makna Allah beristiwa di atas ‘Arsy adalah penguasaan-Nya terhadap ‘Arsy. Maka Allahpun juga beristiwa’ di atas bumi, langit, pohon, dan lainnya karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi seorang muslim tidak boleh meyakini Allah beristiwa’ di atas pohon dan yang lainnya, karena Allah suci dari sifat yang demikian. Maka dari itu tidak boleh bagi kita untuk memahami istiwa’ dengan istila’ karena istila’ bersifat umum terhadap seluruh makhluk sedangkan istiwa’ khusus hanya terhadap ‘Arsy[14]. 

DAFTAR PUSTAKA
Al-Asy’ari, Abul Hasan. 1993. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah. Riyadh: Maktabah Muayyad.
Al-Baihaqi Imam. 2011. Al-Asma’ was Sifat. Beirut: Muassasah Risalah Nasyirun.
Al-Fairuz Abadi. 2005. Al-Qamus Al-Muhith. Beirut: Muassasah Risalah.
Al-Farran, Ahmad ibn Musthafa. 2006. Tafsir Imam Asy-Syafi’i, jam’an wa tahqiqan wa dirasatan. Riyadh: Dar Tadmuriyyah.
Al-Jauhari. Ash-Shahhah fil Lughah. www.alwarraq.com
Al-Kinani, Abdul Aziz ibn Yahya. 2008. Al-Haidah wal I’tizar fir Raddi ‘ala man Qaala bi Khalqil Qur’an. Madinah: Maktabatul Ulum wal Hikam.
An-Nawawi, Yahya ibn Syaraf. 2009. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim ibn Hajjaj. Beirut: Dar Ma’rifah.
Ar-Ruhaili, Ibrahim ibn Amir. 2009. Diktat Mata Kuliah Tauhid Asma’ wa Sifat. Madinah: Khidmatut Thalib.

   








   




[1]  Diriwayatkan oleh Imam Ibn Batthah(387 H) dalam Ibanah(2571), Imam Baihaqi(458 H) dalam Sunan(4838) dan Asma’ wa Sifat(1060).
Hadits-hadits tasyhbih yang dimaksud adalah hadits-hadits yang mengabarkan sifat Allah yang seakan-akan serupa dengan makhluknya. Dalam Kitab Asma’ wa Sifat, bab tentang sifat turun-Nya Allah, Imam Baihaqi membawakan atsar tabi’in ini untuk menjelaskan bagaimana mengimani sifat turun-Nya Allah ke langit dunia. Atsar ini juga berlaku bagi sifat Allah lainnya yang dirasa seakan –akan di dalamnya ada penyerupaan.
    Kaifiyyah adalah mencari tau detail sifat Allah dengan menanyakan “bagaimana?” dan hal ini dilarang Firman Allah ta’ala:
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا <span>وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ</span>
Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan <span>(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui</span>." Al-A’raf: 33

[2]  Al-Haidah wal I’tidzar fir Raddi ‘ala Man Qaala Bikhalqil-Qur’an, hal 46.

[3]  Dinukilkan oleh Imam Nawawi dalam Minhaj, hal 275.

[4]  Kata istiwa’ seringkali diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti semayam atau bersemayam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bersemayam memiliki arti duduk, berada, dan terpatri. Makna-makna ini kembali kepada konteks kalimat yang ada. Jika kami menerjemahkan istiwa’ Allah dengan bersemayam berdasarkan makna-makna yang ada sama halnya kami menta’wilkan sifat Allah yang mana kami mengingkarinya dalam tulisan ini. Oleh karena itu kami lebih memilih untuk tidak menerjemahkannya akan tetapi menjelaskan makna yang diinginkan dari ayat ini.  

[5]  Diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Asma’ wa Sifat, hal: 514

[6]  Ibid

[7]  Ibid

[8]  Ibid

[9]  Ibid

[10] Tafsir Imam Syafi’i jam’an wa tahqiqan wa dirasatan, hal: 1063. Tafsir ayat ini dinukilkan dari Manaqib Imam Syafi’i karya Imam Al Baihaqi.

[11]  Asma’ wa Sifat, karya Imam Baihaqi, hal: 513

[12]  Ash-Shahhah, 1/341

[13]  Lihat Bidayah wan Nihayah, 9/290

[14]  Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, hal: 98