Rabu, 08 Juni 2011

tujuh huruf dan tujuh qiro'at


Pengertian Tujuh Huruf Dalam Al Qur’an
Untuk mengawali pembahasan pengertian tujuh huruf dalam Al Qur’an ada baiknya kami sampaikan terlebih dahulu sebuah hadis yang menyatakan Al Qur’an turun dengan tujuh huruf:
روى مسلم عن أبي بن كعب أن النبي صلى الله عليه و سلم كان عند أضاة ( مسيل الماء إلى الغدير) بني غفار, فأتاه جبريل عليه السلام فقال: (( إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على حرف فقال: أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم أتاه الثانية فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك على حرفين, فقال : أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم جاءه الثالثة فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على ثلاثة أحرف, فقال : أسأل الله معافاته و مغفرته, و إن أمتي لا تطيق ذلك, ثم جاءه الرابعة فقال : إن الله يأمرك أن تقرئ أمتك القرآن على سبعة أحرف فأيما حرف قرأوا عليه فقد أصابوا ))
Artinya: diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ubay bin Ka’ab bahwa ketika Nabi SAW berada di dekat parit Bani Ghifar, beliau didatangi Jibril seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. beliau menjawab: Aku meminta  kepada Allah ampunan dan maghfirohNya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu. Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu untuk membacakan Qur’an kepada umatmu   dengan dua huruf. Nabi menjawab: Aku memohon ampun kepada Allah dan maghfirohNya, umatku tidak kuat melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk ketiga kalinya, lalu mengatakan: Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: Aku memohon kepada Allah amupunan dan maghfirohNya, sebab umatku tidak dapat melaksanakannya. Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya mengatakan: Allah memerintahkanmu untuk membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.[1]
            Dari hadis di atas dapat kita ambil faidah bahwasannya perintah pertama kali untuk membacakan Al Qur’an adalah dengan satu huruf, kemudian Nabi mengatakan bahwa umatnya tidak dapat melaksanakan perintah itu. Kemudian Jibril turun sampai empat kali membawa perintah yang serupa yang pada akhirnya membawa perintah untuk membacakan Al Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaaan Pendapat Para Ulama Tentang Makna Tujuh Huruf
Imam Ibnu Hibban mengatakan bahwa para ahli ilmu berbeda pendapat tentang makna dari
tujuh huruf. Pendapat-pendapat itu mencapai tiga puluh lima pendapat. Di bawah ini akan kami paparkan beberapa pendapat tersebut:
1.      Ibnu Sa’dan An Nahwi menyatakan bahwasannya arti dari tujuh huruf itu adalah suatu masalah yang tidak diketahui artinya, karena huruf itu bisa diartikan sebagai huruf hijaiyah, atau atau sebuah kalimat atau arti dari sebuah kalimat. Jadi, tidak bisa diambil suatu kesimpulan yang pasti tentang arti dari tujuh huruf ini.[2]
2.      Ibnu Qutaibah berpendapat bahwa tujuh di sini adalah tujuh macam pergantian yang terjadi dalam Al Qur’an, pergantian yang pertama adalah pergantian harokat dan tidak mengubah makna serta bentuk katanya, pergantian yang kedua adalah pergantian fi’il atau kata kerjanya seperti ba’ada menjadi ba’id sebagai kata perintah, pergantian yang ketiga adalah pergantian tanda titik seperti nansyuzuha menjadi nansyuruha, pergantian yang keempat   adalah pergantian huruf dengan makhroj yang dekat seperti tholaha menjadi thola’a, yang kelima pergantian kata dengan mengawalkan yang akhir dan sebaliknya seperti sakarotul mauti bil haqqi menjadi sakarotul haqqi bil mauti, keenam adalah pergantian dengan menambah atau mengurangi seperti wa ma kholaqo dzkaro wal unsta menjadi wa dzakari wal unsta, yang terkahir adalah pergantian kalimat seperti kal ‘ihnil mamfusy menjadi ka shoufil mamfusy.[3]
3.      Abu Fadhl Ar Rozi mengatakan tujuh macam perbedaan, yang pertama perbedaan nama dari mufrod, jama’, mustanna, muzakkar dan muannas, perbedaan kedua adalah perbedaan kata kerja seperti madhi, mudhori’ amr, ketiga adalah perbedaan ‘irob, keempat adalah perbedaan penambahan dan pengurangan, kelima perbedaan kalimat yang didahulukan atau sebaliknya (taqdim dan ta’khir), keenam pergantian, dan yang terakhir perbedaan bahasa seperti idghom, izhar, tarqiq, dan tafkhim.[4]
4.      Sebagaian ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah perbedaaan bacaan yang berupa idgham, izhar, tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad, qoshr, tasydid, takhfif, talyin, dan tahqiq.
5.     Adapun pendapat dari Ibn Jazary telah terjadi perbedaan antara bacaan yang benar, bacaan yang syazd, bacaan yang dho’if dan yang munkar di dalam tujuh tempat, seperti perbedaan yang terjadi dalam harakat dengan tidak mengubah arti dan bentuk, seperti bil bukhli, atau perbedaan harakat yang mengubah makna saja فتلقى آدم من ربه كلمات, atau perbedaan dalam huruf yang mengganti makna tapi tidak mengganti bentuk kata seperti تبلو  menjadi تتلو , kemudian perbedaan yang mengganti bentuk huruf dengan tidak mengganti makna seperti الصراط و السراط atau yang mengganti keduanya seperti وامضوا واسعوا atau perbedaan dalam taqdim dan ta’khir seperti فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ dan yang terakhir adalah perbedaan dlam pengurangan atau penambahan seperti وصى و أوصى , kemudian beliau menambahkan, “adapun perbedaan dalam izhar, idghom ,isymam dan sebagainya pada dasarnya ini bukanlah perbedaan dalam lafadz dan makna karena ini semua adalah sifat asli huruf.[5]
6.     Kemudian pendapat lain yang dipaparkan oleh Sufyan bin ‘Uyaynah, Ibn jarir dan Ibn Wahab bahwasannya yang dimaksud tujuh macam adalah makna yang satu yang terdapat dalam lafaz-lafaz yang berbeda, pendapat ini mereka perkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang berbunyi:

أَنَّ جِبْرِيلَ قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم : اقْرَأ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ ، فَقَالَ لَهِ مِيكَائِيلُ : اسْتَزِدْهُ ، فَقَالَ : حَرْفَيْنِ ، فَقَالَ : اسْتَزِدْهُ حَتَّى بَلَغَ سَبْعَةَ أَحْرُفٍ ، فَقَالَ : كُلُّهَا شَافٍ كَافٍ كَقَوْلِكَ هَلُمَّ وَتَعَالَ مَا لَمْ يَخْتِمْ آيَةَ رَحْمَةٍ بِآيَةِ عَذَابٍ وَآيَةَ عَذَابٍ بِآيَةِ رَحْمَةٍ.

                        Sesungguhnya Jibril telah berkata kepada Rasulullah SAW : bacalah Al Qur’an dengan satu huruf, maka berkatalah Mika’il kepadanya, tambahlah, kemudian berkata JIbril, dua huruf, berkata lagi Mika’il, tambahlah sampai tujuh huruf, kamudian Jibril berkata, setiap darinya (tujuh huruf) menyembuhkan dan cukup seperti perkataan engkau halumma, ta’ala apa-apa yang tidak merubah ayat-ayat rahmat dengan ayat-ayat azab atau ayat-ayat azab dengan ayat-ayat rahmat.

Kemudian terdapat riwayat lain yang dapat menjadi penguat pendapat yang ke enam yaitu hadis yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: أقرأني جبريل على حرف فراجعته, فلم أزل أستزيده و يزيدني حتى انتهى إلى سبعة أحرف. (( متفق عليه ))
Artinya: Rosulullah berkata: Jibril membacakan Qur’an kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.[6]
            Inilah dalil yang menjadi bukti bahwa Al Qur’an mempunyai tujuh ragam huruf atau cara membaca. Ini disebabkan bangsa Arab memiliki banyak qabilah, dan setiap qabilah mempunyai lahjah yang berbeda dengan lahjah qabilah yang lain. Maka dengan turunnya Al Qur’an dalam tujuh huruf memudahkan mereka dalam membaca, mengahafal, dan memahaminya. Dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar, sesuai dengan hadis yang sudah dipaparkan di atas.
             Inilah beberapa pendapat dari tiga puluh lima pendapat yang telah disebutkan oleh Ibn Hibban dari beberapa ulama, dan antara pendapat yang satu dengan pandapat yang lain terdapat kemiripan serta saling menguatkan. Namun perbedaan-perbedaan ini tidaklah menunjukkan adanya beragam penafsiran di dalam hukum-hukum syariat, khususnya yang menyangkut masalah halal dan haram. Khalifah Umar bin Khattab dan sahabat Hisyam bin Hakim disebutkan dalam sebuah hadis dari shohih Bukhori bahwa mereka berdua tidak berbeda di dalam tafsir dan hukum-hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi mereka berbeda dalam bacaan huruf. Hadis itu berbunyi:
حَدِيْثُ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ قَالَ: سَمِعْتُ هِشَامَ بْنِ حَكِيْمٍ بن حزام يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَؤُهَا وَفِيْ رِوَايَةٍ عَلَى حُرُوْفٍ كَثِيْرَةٍ لَمْ يُقْرِئْنِيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي سَمِعْتُ هَذَا يَقْرَأُ سُوْرَةَ الفُرْقَانِ عَلَى غَيْرِ مَا أَقْرَأْتَنِيْهَا فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْسِلْهُ اِقْرَأْ فَقَرَأَ القِرَاءَةَ الَّتِي سَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "هَكَذَا أُنْزِلَتْ" ثُمَّ قَالَ لِي اِقْرَأْ فَقَرَأْتُ فَقَالَ: "هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا القُرْآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهٌ"
Hadis dari Umar bin Khottob bahwa di  berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqon dengan bacaan yang berbeda dari apa yang aku baca”, dalam riwayat lain, “dengan huruf-huruf yang banyak yang tidak Rasulullah bacakan kepadaku”. Maka aku berkata:” wahai Rasulullah aku mendengar ini membaca surat Al-Furqon dengan yang selain engkau bacakan kepadaku”. Maka Rasulullah bersabda: “Utuslah dia dan bacalah”, maka dia membacadengan qira’at yang aku dengar, maka Rasulullah bersabda:”seperti inilah diturunkan”, kemudian beliau bersabda kepadaku:” bacalah”, maka aku membacanya, kemudian beliau bersabda:”seperti inilah diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf maka bacalah yang mudah darinya”.[7]
           
Kemudian terjadi perbedaan pendapat, apakah mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini telah mencakup tujuh macam huruf itu?. Tentang ini para fuqoha, ahli qiro’at dan ahli ilmu kalam berpendapat bahwasannya mushaf Utsmani telah mencakup tujuh huruf itu dan sesungguhnya para sahabat telah sepakat dengan penulisan mushaf Utsmani dari mushaf yang ditulis oleh Abu Bakar, dan mereka sepakat untuk meninggalkan selain mushaf itu. Mushaf Utsmani yang kita baca sekarang ini adalah bacaan  terakhir yang dibacakan Rosulullah SAW kapada Jibril sebelum beliau wafat, dan bacaan itu telah mencakup tujuh huruf yang berbeda itu tadi.

Ibn Jarir Ath-Thobary berkata bahwasannya bukanlah suatu kewajiban  atas umat ini untuk membaca Al Qur’an dengan ketujuh huruf itu sekaligus, melainkan ini adalah suatu pilihan untuk membacanya dengan salah satu hurufnya. Karena itu ketika para sahabat bersepakat untuk menyetujui satu mushaf yang ditulis di masa pemerintahan Utsman bin Affan, mereka berijtihad bahwasannya umat ini akan terpecah apabila tidak disatukan bacaan mereka ke dalam satu mushaf. Ditakutkan dari mereka ada yang menganggap bacaan merekalah yang paling benar dibandingkan bacaan yang lain. Atas dasar itu para sahabat sepakat untuk menyetujui mushaf Utsmani dan meninggalkan mushaf yang lain, dan tidak ada keraguan bahwasannya sebagian dari bacaan Al Qur’an itu ada yang mansukh ketika Rosulullah SAW membacakannya kepada Jibril untuk terakhir kali sebelum beliau wafat.

Imam Baghowi di dalam kitabnya syarhu sunnah mengatakan bahwasanya sahabat Zaid bin Tsabit ra telah menyaksikan bacaan terakhir ketika Rosulullah SAW membacakannya kepada Jibril dan menjelaskan apa- apa yang telah mansukh dari bacaan itu dan apa-apa yang telah ditetapkan, kemudian beliau menuliskannya untuk Rosulullah SAW dan membacakannya kepada umat ketika itu sampai Rosulullah wafat. Untuk itulah Khalifah Abu Bakar dan Umar telah bergantung kepada Zaid bin Tsabit dalam penulisan Al Qur’an di zaman mereka dan kemudian ditulis pada zaman Utsman dalam bentuk mushaf. Ibn Abi Syaibah dalam kitab fadho’ilnya mengatakan dari jalan Ibn Sirin dari ‘Ubaidah As Salmani beliau berkata “qiro’ah yang dibaca Nabi pada tahun beliau diwafatkan, adalah qiro’ah yang dibaca oleh umat pada hari ini.[8]

Al-Qodhi Abu Bakar bin Ath-Thib, Ibn Abdil Bar, Ibn Aroby, dan yang selainnya berpendapat bahwasannya perbedaan bahasa di antara kabilah-kabilah arab dan kesulitan pegucapannya membutuhkan keluasan dalam pembacaan Al-Qur’an pada permulaan turunnya wahyu. Maka Allah mengizinkan masing-masing di antara mereka untuk membaca Al-Qur’an dengan huruf mereka atau bahasa mereka atau cara mereka. Sampai pada masa akhir hayat Rasulullah ketika lisan para sahabat telah terlatih untuk membaca Al-Qur’an dan memungkinkan mereka untuk menyatukan bacaan ke dalam satu bahasa, maka Jibril membacakan kepada Rasulullah dua kali dalam satu tahun yang terakhir dan bacaan itulah seperti yang kita baca samapai pada saat ini. Kemudian Allah telah mennaskh bacaan-bacaan yang telah diizinkan sebelumnya dan mewajikan satu bacaa seperti yang telah dibacakan kepada Nabi SAW.

Perbedaan Tujuh Huruf dengan Tujuh Qiro’at

 Pada saat ini kita mengenal ada tujuh bacaa qiro’at yang berasal  dari para imam yang berbeda. Namun perlu diketahui, qiro’at-qiro’at itu bukanlah tujuh huruf sebagaimana yang dimaksud dalam hadis di atas, menurut pendapat yang paling kuat, meskipun kesamaan bilangan di antara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiro’at-qiro’at itu hanya merupakan mazhab bacaan Qur;an para imam, yang secara ijma’ masih tetap eksis dan didunakan umat hingga kini. Sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba’, madd, qoshr, tasydid, takhfif, dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf Quraisy. Sedangkan maksud dari tujuh huruf itu bebeda dengan qiro’at seperti yang sudah dijelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir. Al Qur’an bukalah qiro’at. Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedangkan qiro’at adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafaz-lafaz wahyu tersebut, seperti takhfif, tatsqil, bacaan panjang dan sebagainya.
Lebih lanjut Imam Thobary mengatakan: “Adapun perbedaan bacaan seperti merofa’kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan, dan memindahkannya ke tempat lain dalam bentuk yang sama semua itu tidak termasuk dalam ucapan Nabi, “ Aku diperintah untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf”, sebab sebagaimana diketahui, tidak ada satupun huruf dari Al Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini menjadi kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat ulama –padahal Nabi mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran – itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat. Nampaknya, yang menyebabkan banyak orang kepada kesalah pahaman ini adalah kesamaan bilangan tujuh dalam hadis dengan qiro’at yang popular ini, sehingga permasalahan menjadi kabur bagi mereka. Ibnu ‘imar berkata: orang yang menginterprestasikan qiro’at tujuh terhadap kata sab’ah pada hadis di atas telah melakukan apa yang sebenarnya tidak pantas dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan pada setiap orang bahwa qiro’at-qiro’at itulah yang dimaksud oleh hadis. Alangkah baiknya andaikata qiro’at yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.[9]  Allahu A’lam…………



[1]  HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, Ath Thoyalisi.
[2]  Imam As Suyuthi, Al-Itqon fi Ulumil Qur’an, bab 16: tentang cara turunnya Qur’an, hal, 47. Juz 1
[3]  Ibid hal. 47
[4]  Ibid hal. 47
[5]  Ibid hal, 47
[6]  Hadis Bukhori, Muslim dan lain-lain
[7]  HR. Muslim, Nasa’I, Bukhori.
[8]  Ibid hal. 51
[9]  Manna Khalil Al Qattan. Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an, hal: 243

Tidak ada komentar:

Posting Komentar